Selamat datang di Website SMP Negeri 1 Weru Sukoharjo, Sekolah Standar Nasional. VISI : Terwujudnya Lulusan Yang Berprofil Pelajar Pancasila, Cakap Dalam Literasi Dan Numerasi Serta Berwawasan Lingkungan.


28 Juni 2020

Setiap Siswa - Remaja adalah Pribadi yang Istimewa

Siswa adalah pribadi yang spesial dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dia adalah seorang manusia yang diciptakan-NYA dengan istimewa. Oleh karena itu guru / seorang pengajar bukanlah sekedar suatu pekerjaan, namun harus mampu memahami konsep tentang pribadi siswa yang istimewa tersebut. Mengajar janganlah diartikan hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada siswa, namun lebih lagi daripada itu yaitu suatu proses mengatur lingkungan atau kondisi dimana siswa dapat belajar dan mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya.

Siswa merupakan pribadi yang unik, dimana siswa itu merupakan individu manusia yang memiliki karakteristik yang sangat kompleks. Setiap individu pastinya memiliki potensi, intelegensi yang berbeda dengan yang lainnya. Semua itu akan membentuk kepribadian yang unik dan khas. Siswa yang satu akan berbeda dengan siswa yang lain. Seorang guru akan dihadapkan dalam situasi keragaman karakteristik siswa. Oleh karena itu, seorang guru perlu memiliki kemampuan dalam merancang dan mengimplementasikan berbagai strategi maupun metode dalam pembelajaran yang kita anggap cocok dengan minat, bakat serta sesuai dengan taraf perkembangan siswa. Agar siswa dapat mengembangkan potensi yang ia miliki.

Menurut Hurlock (1981) remaja adalah mereka yang berada pada usia 12-18 tahun. Monks, dkk (2000) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Bahkan ada yang dikenal juga dengan istilah remaja yang diperpanjang, dan remaja yang diperpendek. Remaja adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Statemen ini sudah dikemukakan jauh pada masa lalu yaitu di awal abad ke-20 oleh Bapak Psikologi Remaja yaitu Stanley Hall. Pendapat Stanley Hall pada saat itu yaitu bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress) sampai sekarang masih banyak dikutip orang. Menurut Erickson masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved (Santrock, 2003, Papalia, dkk, 2001, Monks, dkk, 2000, Muss, 1988). Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja. Gunarsa (1989) merangkum beberapa karakteristik remaja yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan pada diri remaja, yaitu:
  1. Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan.
  2. Ketidakstabilan emosi.
  3. Adanya perasaan kosong akibat perombakan pandangan dan petunjuk hidup.
  4. Adanya sikap bersebrangan atau menentang  orang tua.
  5. Adanya pertentangan di dalam dirinya. Hal ini sering menjadi pangkal penyebab pertentangan-pertentang dengan orang tua.
  6. Kegelisahan karena banyak hal diinginkan tetapi remaja tidak sanggup memenuhi semuanya.
  7. Senang bereksperimentasi.
  8. Senang bereksplorasi.
  9. Mempunyai banyak fantasi, khayalan, dan bualan.
  10. Kecenderungan membentuk kelompok dan kecenderungan kegiatan berkelompok.
Berdasarkan tinjauan teori perkembangan, usia remaja adalah masa saat terjadinya perubahan-perubahan yang cepat, termasuk perubahan fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan pencapaian (Fagan, 2006). Sebagian remaja mampu mengatasi transisi ini dengan baik, namun beberapa remaja bisa jadi mengalami penurunan pada kondisi psikis, fisiologis, dan sosial. Akhir-akhir ini banyak orang tua maupun pendidik yang merasa khawatir bahwa anak-anak mereka terutama remaja mengalami degradasi moral. Sementara remaja sendiri juga sering dihadapkan pada dilema-dilema moral sehingga remaja merasa bingung terhadap keputusan-keputusan moral yang harus diambilnya. Walaupun di dalam keluarga mereka sudah ditanamkan nilai-nilai, tetapi remaja akan merasa bingung ketika menghadapi kenyataan ternyata nilai-nilai tersebut sangat berbeda dengan nilai-nilai yang dihadapi bersama teman-temannya maupun di lingkungan yang berbeda.

Pengembangan Potensi Remaja

Pengembangan potensi peserta didik merupakan proses yang disengaja dan sistematis dalam membiasakan/mengkondisikan peserta didik agar memiliki kecakapan dan keterampilan hidup. Untuk dapat mengembangkan, sebelum ataupun bersamaan dengan usaha kongkrit dilakukan, sangat perlu adanya pengertian dan pemahaman para pendidik terhadap remaja. Kecakapan dan keterampilan yang dimaksud berarti luas, baik kecakapan personal (personal skill) yang mencakup; kecakapan mengenali diri sendiri (self awareness) dan kecakapan berpikir rasional (thinking skill), kecakapan sosial (social skill), kecakapan akademik (academic skill), maupun kecakapan vokasional (vocational skill). Kegiatan pendidikan pada tahap melatih lebih mengarah pada konsep pengembangan kemampuan motorik peserta didik. Terkait dengan proses melatih ini, perlu dilakukan pembiasaan dan pengkondisian anak dalam berpikir secara kritis, strategis dan taktis dalam proses pembelajaran. Peserta didik dilatih memahami, merumuskan, memilih cara pemecahan dan memahami proses pemecahan “masalah”. Berangkat dari kondisi tersebut, maka budaya instant dalam pembelajaran yang selama ini dibudayakan harus ditinggalkan, menuju proses pemberdayaan seluruh unsur dalam sistem pembelajaran. Namun, dalam kenyataan, kita menemukan banyak remaja menjadi remaja yang seakan-akan terlahir bodoh, tanpa potensi apa pun. Ada dua hal yang harus kita perhatikan dalam upaya menggali potensi remaja sehingga mereka bisa meraih impian masa depannya. Pertama, konsep diri dan kedua, pandangan yang benar mengenai kecerdasan. Tiap upaya untuk menggali maupun meningkatkan potensi, prestasi maupun kompetensi seseorang, tidak terlepas dari yang bernama konsep diri. Konsep diri seorang remaja adalah cara pandangnya terhadap dirinya sendiri. Konsep diri seorang remaja terbentuk melalui pengalaman dan interaksi dengan lingkungan serta dipengaruhi siapa yang dianggap memiliki otoritas terhadap dirinya. Bagi anak remaja, guru dan orangtua-lah yang dianggap memiliki otoritas. Kosep diri ini mempengaruhi cara seorang remaja berpikir, bersikap dan bertindak dalam hal apa pun, baik dalam berhubungan dengan orang lain maupun dalam kegiatan yang dikerjakan. Kosep diri terdiri atas diri ideal, citra diri dan harga diri.

Selama ini orang selalu menilai seorang remaja berbakat dan pintar hanya dari nilai yang diperoleh di sekolah, sehingga jika seorang remaja mendapatkan nilai yang kurang dengan cepat orang akan mengatakan bahwa si remaja bodoh dan tidak memiliki potensi apa pun. Pandangan dan penilaian semacam ini sangat keliru dan menyesatkan. Akibat pandangan keliru itu si remaja tidak dapat mengembangkan dan menemukan potensi yang ada dalam dirinya. Profesor Howard Gardner dari Universitas Harvard telah mengembangkan model kecerdasan yang disebut multiple intelligence lebih 20 tahun. Ia tiba pada satu pandangan bahwa kecerdasan bukanlah sesuatu yang bersifat tetap. Kecerdasan akan lebih tepat kalau digambarkan sebagai suatu kumpulan kemampuan atau keterampilan yang dapat ditumbuhkan dan dikembangkan. Kecerdasan bersifat laten, ada di diri tiap manusia tetapi dengan kadar pengembangan yang berbeda. Dalam menjelaskan mengenai kecerdasan, ia menggunakan kata ‘bakat’ atau ‘talenta’. Konsep multiple intelligence yang dikembangkannya terdiri atasi delapan jenis kecerdasan, yaitu:

  1. Kecerdasan linguistik, kemampuan dalam bidang bahasa.
  2. Kecerdasan matematika dan logika, kemampuan dalam berpikir abstrak dan terstruktur.
  3. Kecerdasan visual dan spasial, kemampuan yang berhubungan dengan gambar, diagram, peta, maupun grafik.
  4. Kecerdasan musik, kemampuan yang sangat kreatif dalam hal musik.
  5. Kecerdasan interpersonal, mampu bergaul dan beradaptasi dengan cepat, mampu menjadi mediator, dan pintar dalam hal berkomunikasi
  6. Kecerdasan intrapersonal, kemampuan untuk dapat mengerti diri sendiri serta kemampuan untuk memperhatikan nilai dan etika hidup.
  7. Kecerdasan kinestetik, ahli dalam hal-hal yang berhubungan dengan fisik, pekerjaan tangan dan dalam hal mengelolah suatu objek.
  8. Kecerdasan naturalis, kemampuan untuk mencintai alam dan berinteraksi dengan hewan maupun tumbuhan

Pengembangan potensi seorang remaja hendaklah memperhatikan hal-hal tersebut. Meniadakan atau mengesampingkan salah satu aspek di dalamnya merupakan pekerjaan sia-sia dalam usaha menggali potensi seorang remaja. Perlu dukungan dari orangtua dan guru dalam mengembangkan potensi yang ada dalam diri seorang remaja sehingga mereka bisa meraih semua impian masa depan mereka. Bantu mereka agar memiliki konsep diri yang baik dan benar, lihatlah mereka dari sudut pandang multiple intelligence, biarkan mereka berkembang sesuai dengan kecerdasan yang mereka miliki.

Ditulis ulang oleh Adi Kuswanto, S.Pd.
diambil dari Sumber1 , Sumber2

27 Juni 2020

New Normal di Pendidikan selama masa pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 memberikan dampak yang begitu serius dalam berbagai sektor tidak terkecuali sektor pendidikan. Dalam pengelolaan pendidikan, Indonesia membutuhkan cara yang baru baik itu dalam menghadapi pandemi maupun pasca pandemi. Dengan adanya pandemi jangan sampat hak-hak peserta didik dalam mendapatkan pendidikan yang baik dan memadai terhalang. Kurikulum baru yang relevan sangat dibutuhkan dalam menyongsong situasi kenormalan baru (new normal).

Setelah pandemi berlalu, sekedar menormalkan praksis sekolah tidaklah cukup. Yang diperlukan adalah adanya transformasi, yaitu desain besar untuk mengubah sistem pendidikan secara mendasar. Kurikulum 2013 yang begitu padat tidak mungkin lagi kita terapkan selama masa pandemi ini. Ini tantangan kita semua. Apalagi dalam menerapkan pembelajaran jarak jauh atau daring ini, baku mutu pendidikan, standar pendidikan, tidak ada yang seragam. Kualitas pendidikan pun akhirnya dipertanyakan.

Jika ini diserahkan kepada kreativitas masing-masing guru dan sekolah. Sudah pasti akan terjadi kesenjangan antara guru, dan antara satu sekolah dengan sekolah lainnya, atau satu kota dengan kota lainnya, atau satu provinsi dengan provinsi lainnya. Yang notabene memang tidak dipersiapkan untuk hal tersebut. sehingga pemerataan dalam hal kualitas pendidikan tidak dapat terlaksana.

Efektifitas Pembelajaran Daring

Pandemi Covid-19 membawa dampak luar biasa pada sektor pendidikan. Hal ini terjadi karena pada dasarnya pendidikan tidak mengakomodasi situasi ini. Apalagi terjadi perbedaan yang mencolok antara satu sekolah dengan sekolah lain atau satu daerah dengan daerah lain. Pada saat yang sama, hanya sedikit guru yang siap melakukan pembelajaran online secara mandiri. Alih-alih pembelajaran berbasis jaringan, justru yang terjadi malah membebani peserta didik dengan tugas yang bertumpuk. Tetapi, tetap harus diakui, kesadaran para pendidik untuk memulai pembelajaran melalui daring, patut diapresiasi.

Kepemilikan siswa terhadap perangkat komunikasi juga terbatas. Kuota internet yang tidak murah, pun dengan akses jaringan di beberapa wilayah belum memadai. Belum lagi orang tua yang belum terbiasa dengan pembelajaran online. Hal ini menjadi problem tersendiri yang mengakibatkan praktek pembelajaran ini dirasa belum efektif.

Pandemi Covid-19 adalah Momentum

Masa pandemi ini adalah momentum untuk kita melakukan hal-hal besar dan mendasar. Untuk mencegah penularan virus, sementara ini para peserta didik harus mematuhi protokol kesehatan seperti mencuci tangan dengan sabun, penggunaan masker dan penerapan social maupun physical distancing, seraya melakukan berbagai upaya praktis agar pendidikan berjalan normal. Hal ini bukan berarti sebagai upaya untuk menaikan angka partisipasi sekolah seperti yang kini banyak dilakukan. Tetapi, melakukan perubahan menyeluruh dan mendasar dalam kurikulum sekolah, baik terkait dengan kontennya maupun perubahan model terhadap sistem pembelajarannya.

Sistem pembelajaran tidak bisa kembali ke suasana seperti sebelum pandemi, yaitu kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka atau offline terutama selama vaksin belum ditemukan. Maka dari itu, sudah saatnya sektor pendidikan menggunakan cara baru dalam proses pembelajaran. Jika biasanya belajar di kelas dilakukan selama 6-8 jam, sekarang tidak bias lagi karena jika masih menggunakan ketentuan itu maka siswa harus berbagi ruangan kelas. Dengan demikian, pemerintah tidak bisa lagi mengharuskan 24 jam mengajar bagi guru.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus melakukan penyesuaian untuk menyelaraskan sistem pembelajaran dengan kenormalan baru tersebut. Evaluasi atas proses pembelajaran daring yang telah terlaksana juga harus dilakukan. Terlebih ketika pembelajaran model ini akan digunakan lagi dalam masa New Normal atau kenormalan baru nanti. Sehingga dapat meminimalisir adanya kendala dan problem

Ditulis ulang oleh Adi Kuswanto, S.Pd
diambil dari Sumber

25 Juni 2020

Menanamkan Nilai-Nilai Karakter Peserta Didik melalui Pembiasaan dan Komunitas Moral di Kelas

PENDAHULUAN

Perkembangan zaman yang bersifat global dalam segala bidang keilmuan tentu berpengaruh terhadap pola pikir dan perilaku. Akibatnya, dampak secara global diperlukan langkah-langkah taktis-strategis melalui penguatan karakter, serta nilai-nilai sosial budaya yang relevan dan diperlukan untuk memajukan bangsa. Harus diakui bahwa lemahnya penanaman nilai-nilai kejujuran peserta didik bersumber dari rendahnya kualitas pendidikan karakter yang diberikan.

Pendidikan yang kurang berkualitas tidak lagi mampu menawarkan program dan situasi yang berdampak jangka panjang bagi tumbuhnya karakter seseorang. Ibid (dalam Zubaedi, 2017:377), Karakter adalah gabungan dari kebiasaankebiasaan yang dilakukan terus-menerus dengan mengakar kuat dalam kepribadian seseorang. Kemampuan menghayati kewajiban sebagai sebuah keniscayaan tidaklah lahir dengan sendirinya, tetapi tumbuh melalui suatu proses, usaha menumbuhkembangkan dapat ditempuh melalui pendidikan karakter dengan pembiasaan dan penciptaaan komunitas moral di kelas.

Pembentukan budaya dan karakter di sekolah bukan hanya dibebankan pada mata pelajaran terpisah yang menggunakan pendekatan akademik dan teoritik, tetapi hasil belajar dari pendidikan karakter tidak sekedar pengetahuan hafalan yang diuji dan dinilai dengan skor nilai, namun hasil belajar berisi kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan dalam dimensi karakter yang diuji dengan proses penilaian dan produk, sehingga pembentukan karakter menjadi sikap yang menjadi bagian jiwanya kemudian menjelma dalam perilaku. Karena perbuatan dan perilaku adalah manifestasi konkret terhadap nilai perbuatan dari pendidikan karakter itu sendiri yang dapat diterapkan melalui pembiasaan dan komunitas moral di kelas. Tidak dapat dipungkiri bahwa degradasi moral semakin hari semakin dalam kondisi memprihatikan, tingginya tingkat kekerasan dalam lingkungan sekolah, tingkat bullying serta perilakuperilaku siswa yang kian menyimpang dari norma-norma serta banyaknya kasus-kasus yang terjadi di sekolah.

Disamping itu, dengan perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi yang begitu pesat dan sulit dibendung, akan sangat berpengaruh terhadap pembiasaan. Pembiasaan sikap menghargai dan rasa hormat kepada diri sendiri, menghormati kepada orang lain yang lebih tua, kemampuan untuk mengendalikan diri dan mengontrol emosi, perilaku santun yang sesuai dengan tatanan norma sudah mulai berkurang. Hal ini dapat dicegah dan diatasi melalui terbentuknya iklim sekolah yang baik guna mendukung keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter yang diawali dari pembentukan suasana kelas yang baik terlebih dahulu.

Menurut John Dewey, (dalam Zubeadi, 2017), Pendidikan dikatakan gagal, jika tidak menganggap sekolah sebagai salah satu bentuk kehidupan masyarakat. Penerapan pendidikan karakter melalui pembiasan dan komunitas moral di kelas dapat menurunkan perilaku saling mengejek dan juga menurunkan tingkat perselisihan antar pelajar. Sebagian besar masalah perilaku disebabkan oleh peserta didik tidak mengerti mengapa hal-hal tertentu harus dilakukan dan yang lain tidak dilakukan. Sehingga guru harus menyadari bahwa intensif seperti reward dan hadiah lainnya hanyalah bersifat sementara sebagai perangsang agar mereka bersikap benar. Akan tetapi, jika keinginan untuk hadiah atau reward tetap mendominasi sebagai motif, ini justru akan menjadi penghalang dari pada membantu kesikap karakter yang benar. Untuk itu, agar bisa berhasil dalam mengajarkan sikap hormat dan bertanggung jawab, seorang pendidik harus menjadikan upaya pembentukan komunitas moral kelas sebagai tujuan pendidikan utama.

Oleh karena itu, penanaman nilainilai karakter perlu diterapkan pada diri masing-masing peserta didik melalui pembiasaan dan penciptaan komunitas moral di kelas. Dengan menjadikan pembiasaan dan komunitas moral di kelas sebagai upaya menanamkan nilai-nlai pendidikan karakter, peserta didik akan belajar tentang moralitas dengan cara mempraktikkannya melalui pembiasaan. Oleh karena itu, mereka harus berada dalam sebuah komunitas-interaksi, menjalin hubungan, menyelesaikan masalah, berkembang sebagai sebuah kelompok, dan belajar langsung dari pengalaman sosial yang mereka rasakan sendiri. melalui pembiasaan secara rutin, simultan, dan berkesinambungan akan efektif daripada pola teoritis doktrinal. Hal ini mengingat melalui kegiatan pembiasaan akan menjadikan peserta didik mengalami proses imitasi, identifikasi, sugesti, dan simpati terhadap perilaku bermuatan nilai-nilai karakter. Sikap dan perilaku yang bermoral pada anak akan berkembang sebagaimana lingkungan yang mengajarinya dan lingkungan tersebut menjadi kebiasaan yang dihadapinya setiap hari.

ANALISIS

Pendidikan karakter adalah suatu payung istilah yang menjelaskan berbagai aspek pengajaran dan pembelajaran bagi perkembangan personal. Beberapa area dibawah payung ini meliputi penalaran moral atau pengembangan kognitif, pembelajaran sosial dan emosional, pendidikan kebajikan moral, dan pendidikan keterampilan hidup yang dimulai dari pembelajaran di kelas. Terbentuknya iklim sekolah yang baik guna mendukung keberhasilan pelaksanaan program pendidikan karakter diawali dengan pembentukan suasana kelas yang baik terlebih dahulu. Pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan karakter yang baik.

Sudrajat (dalam Zubaedi, 2017:375), mengemukakan bahwa ada empat strategi yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pendidikan karakter dalam menumbuhkan nilai-nilai moral di lingkungan akademik yaitu meliputi; pengajaran (teaching), keteladanan (modeling), penguatan (reinforcing), dan pembiasaan (habituating). Dalam buku yang berjudul The Habits of Highly Effective Teens, Stephen R. Covery mengungkapkan, bahwa ada tujuh kebiasaan yang dapat diterapkan dalam mendidik karakter anak didik, yaitu bersikap proaktif, memulai dengan tujuan akhir, mendahulukan yang utama, berpikir menang, berusaha memahami terlebih dahulu baru dipahami, mewujudkan sinergitas, dan prinsip pembaruan yang seimbang.

Menurut David Brooks dan Mark Kann (dalam Zubaedi,2017:373) membuat daftar sebelas elemen yang sangat penting untuk pendidikan karakter yang diterapkan melalui pembiasaan dan komunitas moral di kelas, yaitu; harus ada instruksi langsung dalam pendidikan watak, untuk anak-anak harus terbiasa dengan kebajikan, mereka harus mendengar dan melihat kata-kata, belajar maknanya, mengidentifikasi perilaku yang tepat dan menerapkannya. Penggunaan bahasa yang baik sangat penting bagi anak-anak, mereka harus didorong untuk menggunakan bahasa kebajikan dan guru harus menghindari bahasa negatif seperti “jangan terlambat” atau “jangan lupa” dan mengganti dengan “tepat waktu” atau “bersiaplah”.

Hasil studi Lewis dan Schaos (1996) menunjukkan bahwa suasana kelas yang kondusif akan mempunyai dampak yang positif, karena; harapan dan kemampuan akademik siswa meningkat, motivasi siswa untuk belajar menjadi lebih besar, siswa lebih menyenangi sekolah, tingkat absensi siswa lebih rendah, kemampuan sosial siswa menjadi lebih baik, masalah kenakalan siswa jauh berkurang, dan siswa mempunyai sikap yang lebih terbuka. Hal ini dapat terwujud apabila seluruh masyarakat sekolah menumbuhkan budaya bahasa, dan iklim berkelakuan baik.

Pembiasaan Peserta Didik di Kelas

Kegiatan pembiasaan pada dasarnya merupakan implementasi nyata semua mata pelajaran karena pembiasaan merupakan terapan atas pemahaman, keterampilan, serta sikap dan nilai yang dibangun pada semua mata pelajaran. Menurut Abdullah Nasih Ulwan (dalam Zubaedi, 2017:377), metode pembiasaan adalah cara atau upaya yang praktis dalam pembentukan (pembinaan) dan persiapan anak. Sedangkan menurut Ramayulis, metode pembiasaan adalah cara untuk menciptakan suatu kebiasaan atau tingkah laku tertentu bagi anak didik. Arthur, (2003:38), Pembiasaan adalah pengalaman berulang-ulang dan/atau tindakan dari jenis yang sama yang menimbulkan kebiasaan pada setiap orang.

Hasil penelitian Supiana dan Rahmat Sugiharto (2017), menunjukkan bahwa metode pembiasaan sangat efektif untuk menguatkan hafalan-hafalan pada anak didik, dan untuk penanaman sikap beragama dengan cara menghapal doa-doa. Menanamkan kebiasaan yang baik memang tidak mudah, dan kadang-kadang memakan waktu yang lama. Tetapi sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sukar pula untuk mengubahnya. Maka kebiasaan mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Selain itu pembiasaan hendaknya disertai dengan usaha membangkitkan kesadaran atau pengertian secara terus-menerus, sebab pembiasaan digunakan bukan untuk memaksa peserta didik agar melakukan sesuatu secara otomatis, melainkan agar anak dapat melaksanakan segala kebaikan dengan mudah tanpa merasa berat atau susah hati.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Supraptiningrum dan Agustini (2015) menjelaskan bahwa, untuk menanamkan karakter pada siswa dilakukan dengan pembiasaan melalui berbagai kegiatan, yaitu: (1) kegiatan rutin yang dilakukan siswa secara terus-menerus dan konsisten setiap saat; (2) kegiatan spontan yang dilakukan siswa secara spontan pada saat itu juga; (3) keteladanan merupakan perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan dan siswa dalam memberikan contoh melalui tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi siswa lain; (4) pengondisian dengan cara penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nur Hidayat (2016), inti dari pembiasaan dalam pendidikan adalah pengulangan. Misalnya, pendidik senantiasa mengingatkan peserta didik dalam hal berpakaian. Penyampaian seperti ini apabila didengar dan dipahami, maka dengan sendirinya peserta didik dapat membiasakan diri berpakaian sesuai tuntutan agama. Penerapan pembiasaan pendidikan karakter di kelas di mulai dari hal-hal yang sederhana namun secara kontinyu dan berarti. 

Kemendiknas (dalam Ernawati, 2017), berpendapat bahwa pengembangan nilai-nilai karakter didefinisikan dari beberapa sumber, yaitu agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional yang menghasilkan nilai-nilai karakter. Penerapan pembiasaan dan penciptaan komunitas moral pendidikan karakter di kelas di mulai dari hal-hal yang sederhana namun secara kontinyu dan berarti, seperti; (1) Memiliki sifat religius dan jujur, misalnya berdoa sebelum dan sesudah pelajaran, menyediakan fasilitas tempat temuan dan barang hilang, larangan menyontek; (2) Sikap toleran, misalnya memberikan pelayanan yang sama terhadap seluh warga kelas tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, status sosial, dan status ekonomi, serta bekerja dalam kelompok yang berbeda; (3) Disiplin dan kerja keras, misalnya membiasakan hadir tepat waktu, membiasakan mematuhi aturan, menciptakan suasana kompetensi yang sehat, menciptakan etos kerja, pantang menyerah, dan daya tahan belajar, serta memiliki pajangan slogan atau motto tentang giat belajar dan berkerja; (4) Kreatif dan mandiri, misalnya menciptakan suasana belajar yang bisa menumbuhkan daya pikir dan bertindak kreatif, memberikan tugas yang menantang, munculnya karya-karya baru; (5) Mandiri, misalnya menciptakan suasana kelas yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja mandiri; (6) Demokratis, misalnya mengambil keputusan kelas secara bersama melalui musyawarah dan musfakat, pemilihan kepengurusan kelas secara terbuka; (7) Rasa ingin tahu, misalnya menciptakan suasana kelas yang mengundang rasa ingin tahu, eksplorasi lingkungan secara terprogram, tersedia media komunikasi atau informasi (media cetak dan media elektronik); (8) Semangat kebangsaan dan cinta tanah air, misalnya bekerja sama dengan teman kelas yang berbeda suku, status sosial-ekonomi, mendiskusikan hari-hari besar nasional, memajang foto presiden dan wakil presiden, bendera, lambang Negara, peta Indonesia, gambar kehidupan masyarakat Indonesia; (9) Menghargai prestasi, misalnya memberikan penghargaan atas hasil karya peserta didik, memajang tanda-tanda penghargaan prestasi; (10) Bersahabat atau komunikatif, misalnya pengaturan kelas yang memudahkan terjadinya interaksi peserta didik, pembelajaran yang dialogis, mendengarkan keluhan-keluhan peserta didik; (11) Gemar membaca, misalnya daftarkan buku atau tulisan yang dibaca peserta didik, frekuensi kunjungan perpustakaan, saling tukar bacaan, pembelajaran yang memotivasi anak menggunakan referensi; (12) Peduli lingkungan, misalnya memelihari lingkungan kelas, tersedia tempat pembuangan sampah didalam kelas, pembiasaan menghemat energi, memasang stiker perintah, mematikan lampu dan menutup keran air pada setiap lingkungan kelas maupun sekolah; (13) Peduli sosial, misalnya berempati kepada sesama teman kelas, melakukan aksi sosial, membangun kerukunan warga kelas; (14) Tanggung jawab, misalnya pelaksanaan tugas piket secara teratur, peran serta aktif dalam kegiatan sekolah, dan mengajukan usul pemecahan masalah.

Gerakan penumbuhan budi pekerti di sekolah dirasakan akan lebih mengena jika dilakukan dengan serangkaian kegiatan pembiasaan. Pertama, menumbuhkembangkan nilai-nilai moral dan spiritual lewat pengamalan nilai-nilai moral dalam perilaku nyata sehari-hari. Nilai moral diajarkan kepada siswa, lalu guru dan siswa mempraktikkan secara rutin menjadi kebiasaan dan akhirnya bisa membudaya. Kedua, menumbuhkembangkan nilai-nilai kebangsaan dan kebhinekaan. Ketiga, mengembangkan interaksi positif antara peserta didik, guru, dan orangtua. Keempat, mengembangkan interaksi positif antarpeserta didik. Kelima, merawat diri dan lingkungan sekolah. Keenam, mengembangkan potensi diri peserta didik secara utuh. Ketujuh, pelibatan orang tua dan masyarkat sekolah.

Menciptakan Komunitas Moral di Kelas

Menurut Haricahyono, (1988:9), Pendidikan moral adalah suatu kegiatan membantu anak untuk menuju kearah yang sesuai dengan kesiapan mereka, dan tidak sekedar memaksakan pola-pola eksternal terhadapnya. Sehingga dibutuhkan suatu pembiasaan kepada anak untuk mengenali nilai-nilai moral yang harus dipatuhi untuk menjadi bagian dari masyarakat dan diterima oleh masyarakat itu juga. Silanoi (2012), mengatakan bahwa berbicara, percakapan, dan perdebatan yang digunakan dalam segala bentuk pendidikan moral, tetapi sering fokus adalah membenarkan keputusan moral. Mengetahui moral, yang mencakup kesadaran moral, pengetahuan tentang nilai-nilai moral, tinjauan masa yang akan datang, penalaran moral, pengambilan keputusan, dan kesadaran diri, adalah hal penting yang siswa butuhkan. Menurut Aristoteles lama (dalam Noddings, 2002:40) berpendapat bahwa hanya siswa yang bisa mengambil keuntungan dari pengajaran-Nya, penalaran moral dan teori orang-orang yang sudah memiliki suara karakter dan penghargaan untuk kehidupan moral.

Menurut Cronbach (dalam Rokhman, Hum, Syaifudin, & Yuliati, 2014), Karakter adalah bukanlah sebuah entitas yang terpisah antara kebiasaan dan ide-ide. Karakter aspek perilaku, kepercayaan, perasaan, dan tindakan yang saling terkait satu sama lain sehingga jika seseorang ingin mengubah karakter tertentu, mereka perlu untuk mengatur unsur-unsur dasar karakter mereka.

Berbeda dari Cronbach, Lickona (dalam Rokhman et al., 2014) melihat karakter dalam tiga elemen yang terkait; pengetahuan moral, perasaan moral, dan tindakan moral. Berdasarkan ketiga unsur tersebut seseorang dianggap memiliki karakter yang baik jika mereka tahu tentang hal-hal yang baik (pengetahuan moral), memiliki minat terhadap hal-hal baik (perasaan moral) dan melakukan tindakan yang baik (tindakan moral).

Althof & Berkowitz (dalam MeiJu, Chen-Hsin, & Pin-Chen, 2014) mengusulkan bahwa pendekatan baru bermaksud untuk memasukkan pikiran dan perasaan anak-anak seperti yang disarankan dalam tindakan mereka mengungkapkan, belajar, dan menghargai.

Mencius (dalam Nucci et al., 2014, hal. 34) menganggap bahwa, moralitas sebagai yang menentukan karakteristik manusia. Menurut Mencius, satu tidak bisa dianggap manusia tanpa empat kecenderungan. Pertama, adalah welas asih, yang merupakan asal-usul ren (mencintai orang lain). Kedua, adalah rasa malu terhadap diri Anda dan menyukai kesalahan orang lain, yang merupakan asal-usul yi (kebenaran). Ketiga, adalah untuk memberikan orang lain didahulukan sopan santun dan hormat, yang merupakan asalusul li (kesopanan). Keempat, adalah rasa benar dan salah, yang merupakan asal-usul zhi (kebijaksanaan).

Mencius menganjurkan menjadi bertekad untuk tidak mengubah pikiran karena kepentingan pribadi melainkan untuk menunjukkan tekad dan keberanian dalam hidup. Akhirnya, orang dapat menjadi orang terhormat yang tanpa mengorbankan adat-istiadat sendiri untuk janji-janji kekayaan dan ketenaran, atau diredakan oleh kekuatan dalam situasi di mana orang diminta untuk melakukan sesuatu tidak bermoral. Singkatnya, jantung Konfusianisme adalah gagasan ren, atau mencintai orang lain. Konfusianisme terutama prihatin dengan moralitas dalam hubungan interpersonal dan perilaku, dan mengidentifikasi nilai-nilai yang mencakup berbagai macam hubungan dan perilaku — ren (mencintai orang lain), li (kesopanan), xiao (kesetiaan), ti (cinta dan hormat antara saudara), zhong (kesetiaan), shu (toleransi), yi (kebenaran), zhi (kebijaksanaan), dan xin (integritas). Tujuan dari pendidikan moral dalam Konfusianisme adalah mengolah diri ke seseorang yang ren-sopan, berani, tanpa pamrih, dan penuh kasih terhadap orang lain.

Goleman (dalam Pane & Patriana, 2016) menyatakan bahwa pendidikan karakter dapat dilakukan dengan langkah penciptaan komunitas moral di kelas, dimana pendidikan karakter adalah nilainilai pendidikan yang mencakup aspek pengetahuan (kognitif), perasaan, dan tindakan. Lickona (dalam Pane & Patriana, 2016) menyatakan bahwa dalam setiap karakter menghasilkan nilai pendidikan, dimana terdiri dari tiga komponen dari karakter yang baik,: pengetahuan moral, perasaan moral dan tindakan moral.

Menurut Jhon Dewey (dalam Zubaedi, 2017:395) pelatihan moral yang paling baik dan mendalam dapat dilakukan dengan membiasakan anak saling menjalin hubungan dengan sesama kawannya. Untuk bisa berhasil dalam mengajarkan sikap hormat dan bertanggung jawab, guru harus menjadikan upaya pembentukan komunitas moral di kelas sebagai tujuan pendidikan utama. Anak-anak belajar tentang moralitas dengan cara mempraktikkannya. Mereka harus berada di dalam sebuah komunitasberinteraksi, menjalin hubungan, menyelesaikan masalah, berkembang sebagai sebuah kelompok, dan belajar lansung dari pengalaman sosial yang mereka rasakan sendiri tentang pelajaran, tentang bermain secara adil, kerja sama, memaafkan, dan menghormati harkat dan martabat setiap individual. Ada tiga kondisi dasar yang dapat membentuk komunitas moral di kelas, yakni; Pertama, siswa saling mengenal satu sama lain. Melalui cara ini akan lebih membiasakan siswa untuk mau menghargai oranglain dan merasakan kedekatan. Kedua, siswa saling menghormati, mendukung, dan peduli terhadap satu sama lain. Ketiga, mereka diterima sebagai anggota, dan bertanggung jawab terhadap kelompok.

Menurut Lickona (dalam Zubaedi, 2017:394), langkah penciptaan komunitas moral di kelas terdiri dari tiga kegiatan. Pertama. Membantu para siswa untuk saling mengenal satu sama lain dengan aktivitas; Berpasangan; Direktori kelas; Kantung harta karun; Sahabat pena dengan kelas lain; Undian tempat duduk; Perasaan nyaman atau tak nyaman; Jaket pelindung (untuk saling berbagi aspirasi, pencapaian, dan lain-lain). Kedua, mengajari siswa untuk bersikap saling menghormati, mendukung, dan peduli dengan sesama melalui kegiatan; Membangun empati; Menghentikan kekejaman terhadap anak yang berbeda; Menyelenggarakan kegiatan yang bertajuk apresiasi; Pohon perbuatan baik; Kekuatan kata-kata positif, dan Pelukan menentramkan. Ketiga, membantu siswa membangun perasaan korp sebagai anggota dan rasa tanggung jawab kepada kelompok melalui kegiatan; Membangun kohesi dan identitas kelas melalui macam tradisi dan simbolis; Menumbukan perasaan sebagai sosok yang unik, anggota yang berharga dari sebuah komunitas kelas, melakukan upaya intervensi dalam membantu anak yang dikucilkan agar dapat diterima oleh teman-temannya; Menanamkan rasa tanggung jawab dalam menjunjung tinggi aturan kelompok; Mendorong tumbuhnya etika saling ketergantungan, dengan semangat “siapa yang punya masalah yang bisa dibantu penyelesaiannya oleh kita semua”.

KESIMPULAN

Karakter adalah gabungan dari kebiasaan-kebiasaan yang terus menerus dilakukan dan mengakar kuat dalam kepribadian seseorang. Menanamkan nilainilai karakter pada peserta didik dilakukan dengan pembiasaan-pembiasaan melalui berbagai kegiatan di kelas yang dilakukan secara terus-menerus dan konsisten setiap saat, sehingga peserta didik akan terbiasa melakukan hal-hal yang baik dan benar yang tertanam dalam diri masing-masing peserta didik, tanpa ada reward ataupun hadiah untuk melakukan hal tersebut. Bentuk pembiasaan yang dilakukan seperti inilah dapat menumbuhkan nilai-nilai moral pada setiap peserta didik. Hal ini tentu berawal dari kegiatan-kegiatan yang sederhana yang melibatkan aktivitas keseharian peserta didik yang dimulai dari lingkungan kelas.

DAFTAR PUSTAKA

Ernawati. 2017. Menumbuhkan Nilai Pendidikan Karakter Anak SD melalui Dongeng (Fabel) dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Dasar. Vol.4, No. 1

Hidayat Nur. 2016. Implementasi Pendidikan Karakter Melalui Pembiasaan di Pondok Pesantren Pabelan. Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar, Vol. 2. No. 1

Mei-Ju, C., Chen-Hsin, Y., & Pin-Chen, H. (2014). The Beauty of Character Education on Preschool Children’s Parent-child Relationship. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 143, 527–533.

Milanovira, “Tujuh Kebiasaan yang Baik Menurut Stephen R. Covey”, artikel dalam Milamashuri.wrodpress.com Dipublikasikan 20/08/2010, http://milamashuri.wordpress.com/ 2010/08/20tujuh kebiasaan- yangbaik-menurut-stepehen-r-covey/

Nucci, L., Narvaez, D., & Krettenauer, T. (2014). Handbook of Moral and Character Education. Handbook of Moral and Character Education Second (2nd ed., Vol. 2). New York: Routledge.

Pane, M. M., & Patriana, R. (2016). The Significance of Environmental Contents in Character Education for Quality of Life. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 222, 244– 252.

Rokhman, F., Hum, M., Syaifudin, A., & Yuliati. (2014). Character Education for Golden Generation 2045 (National Character Building for Indonesian Golden Years). Procedia - Social and Behavioral Sciences, 141, 1161–1165.

Saptono .2011. Dimensi-dimensi Pendidikan Karkter (wawasan, strategis, dan langkah praktis). Erlangga.

Silanoi, L. (2012). The Development of Teaching Pattern for Promoting the Building up of Character Education Based on Sufficiency Economy Philosophy in Thailand. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 69 (Iceepsy), 1812–1816.

Supiana, Sugiharto Rahmat. 2017. Pembentukan Nilai-nilai Karakter Islami Siswa Melalui Metode Pembiasaan. Jurnal Education Vol.01, No.01

Noddings, N. (2002). Educating Moral People; A Caring Alternative to Character Education. New York: Teachers College Press.

Supraptiningrat, Agustini. Membangun Karakter Siswa Melalui Budaya Sekolah di Sekolah Dasar. 2015. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun V, No. 2

Zubaedi. 2017. Strategi Taktis Pendidikan Karakter (untuk PAUD dan Sekolah). Depok: PT Raja Grafindo Persada

Ditulis ulang oleh Adi Kuswanto, S.Pd
DIambil dari Sumber

23 Juni 2020

Memahami Karakteristik Peserta Didik

Mengenal Karakteristik peserta didik merupakan salah satu bagian dari beberapa tuntutan atas kemampuan pedagogi yang harus dikuasai Profesi Guru. Hal ini bertujuan untuk menemukan dan membantu guru dalam merencanakan pembelajaran yang baik di ruang kelas. Aspek-aspek apa saja, yang harus dipahami guru untuk mengenali potensi peserta didik. Dengan Hasil Kajian kepustakaan yang saya tulis ini, diharapkan dapat membantu guru memahami setiap aspek-aspek karakteristik tersebut.

Kompetensi Pedagogi merupakan bagian komponen utama dari empat standar kompetensi guru (Pedagogi, Profesional, Kepribadian, Sosial). Pedagogi adalah kajian pendidikan, secara etimologis berasal dari kata Yunani “paedos” yang berarti anak laki-laki dan “agogos” yang berarti mengantar, membimbing. Jadi pedagogi secara harfiah berarti membantu anak laki-laki. Dengan Kompetensi pedagogi ini akan menjadikan seorang ahli dalam membimbing anak ke arah tujuan hidup tertentu, atau istilah sekarang disebut pendidik, seperti yang di kemukakan Prof. Dr. J. Hoogveld (Belanda), bahwa; Pedagogi adalah ilmu yang mempelajari masalah membimbing anak ke arah tujuan tertentu, yaitu supaya ia kelak mampu secara mandiri menyelesaikan tugas hidupnya. Pedagogi adalah ilmu pendidikan anak. adapula Andragogi adalah ilmu pendidikan orang dewasa.

Kompetensi pedagogi juga dijadikan syarat oleh pemerintah dalam menilai kemampuan dan kinerja guru  yang  terstandarisasi. Sesuai dengan Lampiran Permendiknas No. 16 Tahun 2007, Kompetensi Pedagogi dibagi menjadi sepuluh (10) Kompetensi Inti Guru (KI) yang harus dikuasai, kemudian dijabarkan lagi menjadi beberapa Kompetensi guru mata pelajaran (KD) , sehingga untuk Kompetensi utama pedagogi ini, semuanya terdapat 37 Kompetensi Guru Mata Pelajaran, yang salah satunya adalah guru harus mampu memahami karakteristik peserta didik, agar potensi peserta didik dapat diidentifikasi sehingga memudahkan guru dalam mencapai hasil dari tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.

Di sini terlihat jelas bahwasanya mengenali karakteristik dan potensi  peserta didik merupakan komponen pertama dalam kompetensi pedagogi, tetapi seringkali terlupakan oleh seorang pendidik. Memang tidak mudah untuk mengenali karakter dan potensi pada setiap peserta didik, tapi hal ini sangatlah mungkin.

Mengenal Karakteristik Peserta Didik

Membahas tentang kompetensi pedagogi dalam pendidikan selalu terkait dengan komponen yang melekat di dalamnya, seperti kurikulum,  pendidik, dan peserta didik. Ketiga komponen tersebut saling terkait satu dengan yang lain dalam membentuk sebuah proses pembelajaran yang efektif. Sebagai seorang pendidik, tugas kita tidak hanya wajib menguasai kurikulum dan tugas-tugas kependidikan tetapi hendaknya mengenali peserta didik atau anak didik kita terlebih karakteristik mereka. Karakteristik peserta didik yang perlu dikenal dan dipahami oleh para pendidik tidak hanya terbatas pada tipe kepribadian mereka saja, tetapi juga melingkupi kebutuhan  belajar, kemampuan mereka dalam belajar, potensi yang dimiliki, dan lingkungan yang ada di sekitar mereka.

Faktor-faktor ini secara tidak langsung membantu atau menghambat para peserta didik dalam menerima dan memproses informasi yang diterima dari pendidiknya. Dengan mengetahui faktor-faktor di atas, para pendidik dapat mengembangkan hal-hal positif yang ada di dalam diri peserta didik dan mengurangi/meminimalisir  hal-hal yang negatif yang dapat menghambat kompetensi yang ada di dalam dirinya. Selain itu,  pendidik juga dapat mengenali karakter dan potensi yang ada di dalam dirinya sendiri

Karakteristik Peserta Didik

Istilah karakter membuat banyak orang menyamakannya dengan kata sifat, watak, akhlak, atau tabiat. Kenyataannya tak selalu bisa dimaknai seperti itu. Kita perlu mempelajari pengertian karakter menurut para ahli agar memahami perbedaannya. Menurut Doni Kusuma,  karakter adalah ciri, karakteristik, gaya, atau sifat diri dari seseorang yang bersumber dari bentukan yang diterima dari lingkungannya.  Berdasarkan pendapat tersebut karakter peserta didik turut dibentuk dan dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.  Beberapa ahli  mengatakan karakter  mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).   Dari pendapat para ahli tersebut dapat kita simpulkan bahwa karakter adalah ciri, sifat diri, akhlak atau budi pekerti, kepribadian dari seseorang yang dalam hal ini adalah peserta didik.

Sebagai seorang pendidik  tentunya tidak hanya bertugas mengajar di kelas saja, akan tetapi mendidik dan juga melatih. Hal ini sangatlah tepat apabila dikaitkan dengan pembentukan karakter yang baik bagi para peserta didik. Seperti apa seorang pendidik mendidik, bagaimana mengajar, dan bagaimana melatih para peserta didik. Semua tantangan di atas berawal dari pendidik itu sendiri, bagaimana menciptakan pembelajaran yang menyenangkan,  misalnya dengan  memunculkan kesan pertama pendidik yang positif saat kegiatan belajar di kelas.  Pendidik sangat perlu memahami perkembangan peserta didik. Perkembangan peserta  didik tersebut meliputi: perkembangan fisik, perkembangan sosio-emosional, dan bermuara pada perkembangan intelektual. Perkembangan fisik dan perkembangan sosio-sosial mempunyai kontribusi yang kuat terhadap perkembangan intelektual atau perkembangan mental  atau perkembangan kognitifnya. Pemahaman terhadap perkembangan peserta didik di  atas, sangat diperlukan untuk merancang pembelajaran yang kondusif yang  akan dilaksanakan.

Rancangan pembelajaran yang kondusif akan mampu meningkatkan motivasi belajar peserta didik sehingga mampu meningkatkan proses dan hasil pembelajaran yang diinginkan. Seorang pendidik mempunyai peran multifungsi, sebagai konselor, dia mendidik dan membimbing peserta didiknya dengan benar, memotivasi dan memberi sugesti yang positif, serta memberikan solusi yang tepat dan tuntas  dalam menyelesaikan masalah peserta didik. Selain itu juga memperhatikan karakter dan kondisi kejiwaan peserta didiknya. Pendidik  juga bisa berperan sebagai seorang dokter yang memberikan terapi dan obat pada pasiennya sesuai dengan diagnosanya.

Perannya  sebagai seorang ulama, pendidik membimbing dan menuntun batin atau kejiwaan peserta didik, memberikan pencerahan yang menyejukkan dan menyelesaikan masalahnya dengan pendekatan agama yang hasilnya akan lebih baik. Mengenal dan memahami peserta didik dapat dilakukan dengan cara memperhatikan dan menganalisa tutur kata (cara bicara),  sikap dan perilaku atau perbuatan anak didk, karena dari tiga aspek diatas setiap peserta didik mengekspresikan apa yang ada dalam dirinya. Untuk itu seorang pendidik harus secara seksama dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan peserta didik dalam setiap aktivitas pendidikan.

Perkembangan Kognitif Peserta Didik

Proses pembelajaran setiap peserta didik berlangsung baik di sekolah maupun dalam lingkungan keluarga. Sehingga kemampuan kognitif sangat diperlukan peserta didik dalam proses pembelajaran tersebut. Perkembangan kognitif merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam erkembangan  peserta didik. Kita ketahui bahwa peserta didik merupakan objek yang berkaitan langsung dengan proses pembelajaran, sehingga perkembangan kognitif sangat menentukan keberhasilan peserta didik dalam belajar. Kognitif atau pemikiran adalah istilah yang digunakan oleh ahli psikologi untuk menjelaskan semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan dan Pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang berkaitan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menilai dan memikirkan lingkungannya. (Desmita, 2009).

Perkembangan kognitif pada peserta didik merupakan suatu pembahasan yang cukup penting bagi guru maupun orang tua. Perkembangan kognitif pada  anak merupakan kemampuan anak untuk berpikir lebih kompleks serta kemampuan melakukan penalaran dan pemecahan masalah yang termasuk dalam   proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan memikirkan lingkungannya. Karakteristik perkembangan kognitif peserta didik juga harus dapat dipahami semua pihak. Dengan pemahaman pada karakteristik perkembangan peserta didik, guru dan orang tua dapat mengetahui sebatas apa perkembangan yang dimiliki anak didiknya sesuai dengan usia mereka masing-masing, sehingga guru dan orang tua dapat menerapkan ilmu yang sesuai dengan kemampuan kognitif masing-masing anak didik.

Tidak kalah penting, guru juga harus mengetahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi peserta didik. Yang sangat sentral dalam faktor-faktor yang mempengaruhi   perkembangan kognitif adalah gaya pengasuhan dan lingkungan. Biasanya gaya pengasuhan lebih diterapkan pada anak-anak. Pada pengasuhan ini merupakan cikal-bakal perkembangan kognitif tersebut, karena ketika anak diasuh secara  tidak sesuai dengan semestinya, ini akan berakibat pada perkembangan kognitif anak, bahkan pada perkembangan mental anak tersebut. Lingkungan pun sangat berpengaruh pada perkembangan kognitif, semakin buruk lingkungan maupun pergaulan seseorang maka kemungkinan pengaruh lingkungan pada perkembangan kognitif anak semakin besar.

Dari uraian di  atas jelaslah bahwa perkembangan kognitif peserta didik sangat  berpengaruh terhadap proses pembelajaran dan hasil yang dicapai.

Perkembangan Sosial-Emosional Peserta Didik

Selain perkembangan karakteristik fisik dan kognitif peserta didik, yang tidak kalah penting adalah perkembangan sosial-emosional peserta didik.  Sosio-emosional berasal dari kata sosial dan emosi. Perkembangan sosial adalah pencapaian kematangan dalam hubungan atau interaksi sosial.  Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok, tradisi dan moral agama. Sedangkan emosi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tingkah laku individu, dalam hal ini termasuk pula perilaku belajar. Emosi dibedakan menjadi dua, yakni emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif seperti perasaan senang, bergairah, bersemangat, atau rasa ingin tahu yang tinggi akan mempengaruhi individu untuk mengonsentrasikan dirinya terhadap aktivitas belajar. Emosi negatif sperti perasaan tidak senang, kecewa, tidak bergairah, individu tidak dapat memusatkan perhatiannya untuk belajar, sehingga kemungkinan besar dia akan mengalami kegagalan dalam belajarnya. Selain itu, dari segi etimologi, emosi berasal dari akar kata bahasa Latin  ‘movere’ yang berarti ‘menggerakkan, bergerak’. Kemudian ditambah dengan awalan ‘e-‘ untuk memberi arti ‘bergerak menjauh’. Makna ini menyiratkan kesan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi.

Perkembangan sosio-emosional peserta didik termasuk suatu pembahasan yang sangat penting karena dengan mengetahui perkembangan sosio-emosional peserta didik, para pendidik dapat mengambil tindakan pada permasalahan peserta didik dengan berbagai karakteristik dan sifat yang berbeda-beda. Sosio-emosional adalah perubahan yang terjadi pada diri setiap individu dalam warna afektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Dalam pembahasan sosio-emosional ini lebih ditekankan dalam  sosio-emosional pada  remaja.  Pada masa remaja, tingkat karakteristik emosional akan menjadi drastis tingkat kecepatannya. Gejala-gejala emosional para remaja seperti perasaan sayang, cinta dan benci, harapan-harapan dan putus asa, perlu dicermati dan dipahami dengan baik. Sebagai  pendidik. kita harus mengetahui setiap aspek  yang berhubungan dengan perubahan tingkah laku dalam perkembangan remaja, serta memahami aspek atau gejala tersebut sehingga kita bisa melakukan komunikasi yang baik dengan remaja. Perkembangan emosi remaja merupakan suatu titik yang mengarah pada proses dalam mencapai kedewasaan. Meskipun sikap kanak-kanak akan sulit dilepaskan pada diri remaja karena pengaruh didikan orang tua.

Faktor yang sangat memengaruhi perkembangan peserta didik pada usia remaja yaitu didikan orang tua, lingkungan sekitar tempat tinggal dan perlakuan guru di sekolah. Pengaruh sosio-emosional yang baik pada remaja terhadap diri sendiri yaitu untuk mengendalikan diri, memutuskan segala sesuatu dengan baik, serta bisa lebih matang merencanakan segala hal yang akan diputuskannya, sedangkan terhadap orang lain, yaitu mampu menjalin kerjasama yang baik, saling menghargai dan mampu memposisikan diri di lingkungan dengan baik.

Agar seorang peserta didik dapat memiliki kecerdasan emosi dengan baik haruslah dibentuk sejak usia dini, karena pada saat itu sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan manusia selanjutnya. Sebab pada usia ini dasar-dasar kepribadian anak telah terbentuk. Jelaslah sudah betapa pentingnya seorang pendidik memahami perkembangan sosio-emosional peserta didik, agar dalam proses pembelajaran perkembangan sosio-emosional peserta didik yang berbeda-beda dapat diatasi dengan baik.

Sekelumit tentang mengenal karakteristik peserta didik  diharapkan membantu guru dalam megtasai kesulitan  dalam mengembangkan pembelajaran  yang efektif  dan bermakna  di kelas.    Guru sepatutnya mendapatkan pemahaman  terhadap kompetensi pedagogi dan profesional dengan komposisi yang ideal merupakan sesuatu yang sangat penting dan tidak bisa dilewatkan pada setiap pertemuan. Materi yang dipaparkan dalam artikel  ini diharapkan dapat menambah wawasan   guru dalam menentukan karakteristik, potensi, kesulitan belajar peserta didik    serta dapat merancang kegiatan  yang  dapat mengatasi kesulitan belajar peserta didik.

Daftar Pustaka

A, Doni Koesoema. 2007. Pendidikan Karakter: Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo.

Fauzi, Ahmad. (2011). Analisis Karakteristik Siswa.

Mardiya.(2009). Peranan Orang Tua dalam Pembentukan Karakter dan Tumbuh Kembang Anak.


Suhadianto.(2009). Pentingnya Mengenal Kepribadian Siswa Untuk Meningkatkan Prestasi

Ditulis ulang oleh Adi Kuswanto, S.Pd
diambil dari Sumber

21 Juni 2020

Sekolah Ramah Anak (SRA)

Sadarkah kita (orang tua), bahwa setelah lingkungan rumah, sekolah merupakan lingkungan yang amat penting bagi perkembangan Anak? Mereka menghabiskan waktu di tempat ini dalam jangka waktu yang cukup lama. Dari pagi, kadang hingga menjelang petang, akibat kegiatan ekstrakurikuler yang menyita waktu. Itu artinya, lingkungan sekolah bisa jadi merupakan rumah kedua bagi Anak.

Oleh sebab itu, kita harus memastikan bahwa anak senang dan nyaman melakukan kegiatan belajar di sekolah. Untuk mendukung hal ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan dan program terkait Sekolah Ramah Anak atau SRA. Apa itu SRA? Saya akan mencoba menjabarkannya kepada kita semua.

Sekolah Ramah Anak atau SRA adalah program yang diselenggarakan oleh pemerintah Republik Indonesia. Kebijakan ini dilansir oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KemenPPPA).

Menurut lembaran Panduan Sekolah Ramah Anak  yang penyusunannya telah melibatkan 12 kementerian, badan, serta yayasan terkait kesejahteraan anak, tujuan disusunnya Kebijakan SRA adalah untuk dapat memenuhi, menjamin dan melindungi hak-hak yang dimiliki oleh anak. 

Tujuan lainnya adalah memastikan bahwa sekolah mampu mengembangkan minat, bakat dan kemampuan anak serta mempersiapkan anak untuk bertanggung jawab kepada kehidupan yang toleran, saling menghormati, bekerjasama untuk kemajuan dan semangat perdamaian. 

Nantinya, sekolah diharapkan tidak hanya melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual, namun juga melahirkan generasi yang cerdas secara emosional dan spiritual. 

Mengapa kebijakan Sekolah Ramah Anak ini dimunculkan? 

Menurut KemenPPPA, program ini lahir salah satunya adalah karena proses pendidikan di Indonesia yang masih menjadikan anak sebagai objek. Dalam hal ini, guru selalu berada di pihak yang selalu benar. Bullying oleh guru pun lebih mudah terjadi, baik di sekolah maupun madrasah. 

Ternyata, menurut data KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) tahun 2014-2015 terkait Kasus Kekerasan (kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran terhadap anak), sebanyak 10 persen di antaranya dilakukan oleh para guru. 

Bentuk-bentuk kekerasan yang banyak ditemukan adalah berupa pelecehan (bullying), dan juga bentuk-bentuk hukuman yang tidak mendidik bagi peserta didik. Sesuai dengan data KPAI pada tahun 2013, contohnya adalah mencubit (504 kasus), membentak dengan suara keras (357 kasus) dan menjewer (379 kasus). 

SRA mengurus juga JAJANAN sekolah 

Selain guru, yang jelas teman sekelas juga memiliki pontensi untuk melakukan bullying. Selain itu, terdapat pula kekhawatiran orangtua terhadap kasus keracunan pada anak sekolah, yang disebabkan oleh jajanan yang tercemar oleh zat- zat yang membahayakan. Juga kasus anak yang menjadi korban karena sarana prasarana yang tidak kokoh. Misalnya akibat bangunan yang tak layak, atau sudah rusak. Termasuk area bermain anak. 

Kita juga perlu berhati-hati, karena kekerasan pada anak juga rawan terjadi akibat 55 persen orangtua memberikan akses kepada anak terhadap kepemilikan ponsel dan internet. Selain itu, menurut data KPAI, sebanyak 63 persen orangtua menyatakan bahwa tidak melakukan pengawasan terhadap konten yang diakses oleh anak-anak (KPAI). 

Hal buruk lain terkait anak juga termasuk pengaruh teman-teman yang memengaruhi anak agar menjadi perokok atau pengguna napza. 

Enam Komponen penting Sekolah Ramah Anak
  1. Sejatinya, SRA tak bisa diwujudkan hanya dengan mengandalkan sekolah. Menurut KemenPPPA, penerapan Sekolah Ramah Anak (SRA) dilaksanakan dengan merujuk enam komponen penting, yaitu:
  2. Adanya komitmen tertulis yang dapat dianggap sebagai kebijakan tentang SRA oleh sekolah. Ini artinya, sekolah memang benar-benar akan menjalankan program ini sesuai dengan perencanaan pelaksanaan yang ditetapkan oleh sekolah itu sendiri.
  3. Pelaksanaan proses pembelajaran yang ramah anak di sekolah. Artinya anak bisa merasakan kenyamanan di lingkungan sekolahnya, seperti perlakuan dari guru dan teman-teman di sekitarnya.
  4. Adanya para pendidik dan tenaga kependidikan yang terlatih serta memahami hak-hak anak. Artinya pendidik memang memiliki kompetensi di bidangnya dan bisa memperlakukan anak sesuai hak yang si Anak miliki.
  5. Sarana dan prasarana di sekolah yang ramah anak. Ini artinya anak merasa nyaman terhadap fasilitas di sekolah yang ia gunakan. Anak tidak merasa takut atau terancam dari segi keselamatan.
  6. Partisipasi dari anak-anak sendiri dalam pelaksanaan program ini. Tentunya ini terkait dengan perilaku anak dalam bersosialisasi di sekolah, termasuk taat kepada tata tertib sekolah.
  7. Partisipasi dari orangtua sebagai pendidik utama, lembaga-lembaga masyarakat, dunia usaha untuk mendukung sekolah, dan bahkan para alumni sekolah. Kita selaku orangtua juga perlu memantau kegiatan anak di sekolah, dan juga perilakunya.
Program lain yang dicanangkan pemerintah terkait Sekolah Ramah Anak 

Pemerintah tentu tidak tinggal diam dalam mendorong program SRA ini. Bermacam upaya dan label dilekatkan oleh pemerintah dan berbagai pihak, pada sekolah-sekolah untuk menunjukkan bahwa sekolah tersebut memiliki program ramah anak. 

Contohnya adalah:
  1. Sekolah Adiwiyata (yang dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan)
  2. Sekolah/Madrasah Aman Bencana (BNPB)
  3. Sekolah Inklusif (Kemendikbud)
  4. Sekolah Anti Kekerasan (Kemendikbud)
  5. Children Friendly School (CSF) – UNICEF
  6. Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) – Kemenkes
  7. Pangan Jajan Anak Sekolah (BPOM)
  8. Warung Kejujuran (KPK)
  9. Sekolah Bebas Napza (BNN)
  10. Pesantren Ramah Anak (Kemenag)
Beberapa indikator yang bisa kita lihat, apakah Sekolah Ramah Anak

Murid-muridnya memiliki sikap antikekerasan, sikap toleransi yang tinggi, setia kawan, peduli lingkungan, dan bangga terhadap sekolahnya.
  1. Anak bebas dari kekerasan fisik, seksual, maupun emosional (dengan mengata-ngatai anak dengan perkataan bodoh atau nakal, misalnya), baik dari guru maupun teman,
  2. Anak diperlakukan secara adil tanpa memandang SARA, sekolahnya menghargai keberagaman.
  3. Si Anak merasa aman dan nyaman dalam kegiatannya bersekolah, termasuk belajar di kelas yang rapi dan bersih, dan lingkungan sekolah yang tak membahayakan dan tertata baik.
  4. Anak senang mengikuti pelajaran dan tidak memiliki rasa takut, cemas, was-was, atau rendah diri dalam bersaing dengan teman lainnya. Anak tidak dipermalukan oleh guru saat prestasinya menurun.
  5. Anak terlibat dalam kepedulian terhadap lingkungannya. Antara lain dalam kegiatan kerja bakti di sekolah.
  6. Kita juga bisa bertanya kepada anak, makanan apa saja yang dijual di kantin sekolah? Berbahayakan bagi anak? Apakah sekolah menyediakan tempat duduk untuk pembeli?
  7. Anak tidak dilibatkan dalam urusan keuangan yang terkait dengan kewajiban orangtua, dan anak tidak menerima sindiran saat tidak memberikan sumbangan dalam kegiatan amal tertentu.
  8. Tata tertib sekolah transparan. Orang tua dan anak bisa mengakses dan memahaminya pada awal tahun pelajaran. Demikian pula dengan sanksi yang akan diberikan kepada anak jika melanggarnya.
Ditulis ulang oleh Adi Kuswanto, S.Pd
Diambil dari Sumber

20 Juni 2020

Belajar Sepanjang Hayat

Pendidikan adalah suatu proses untuk menuju pendewasaan, dimana untuk mewujudan pendidikan yang optimal diperlukan berbagai jenis pendidikan, tidak hanya terpancang pada pendidikan formal saja. Melainkan juga diperlukan pendidikan informal dan non formal. Karena sejatinya pendidikan itu merupakan suatu proses yang komplek dimana kesemuanya merupakan satu kesatuan.

Dewasa ini perwujudan masyarakat belajar belum ada peningkatan seperti yang diharapkan. Banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan pendidikan yang merata, yang melingkupi semua lapiasan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam upaya ini dibutuhkan pula campur tangan dari masyarakat itu sendiri. Karena tanpa kedasaran dan kerjasama masyarakat, perwujudan masyarakat belajar tidak akan tecapai. Karena pendidikan tidak hanya diperoleh dari sekolah, melainkan dari kesadaran masyarakat untuk belajar antara lain melalui membaca, mencari informasi di internet, pengalaman, dan lain-lain.

Penerapan belajar sepanjang hayat dalam mewujudkan masyarakat belajar sangat memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas SDM. Dengan peningkatan tersebut, harkat dan martabat masyarakat dapat terangkat dimata dunia. Oleh sebab itu perlu adanya kemerataan pendidikan yang tidak hanya didapat dari sekolah, namun juga dapat terwujud dalam perpustakaan umum untuk meningkatkan minat baca masyarakat.

Belajar Sepanjang Hayat

Pendidikan merupakan suatu upaya sadar manusia untuk mendewasakan anak. Secara umum Pendidikan merupakan suatu proses berkelanjutan yang mengandungi unsur-unsur pengajaran, latihan, bimbingan dan pimpinan dengan tumpuan khas kepada pemindahan berbagai ilmu, nilai agama dan budaya serta kemahiran yang berguna untuk diaplikasikan oleh individu (pengajar atau pendidik) kepada individu yang memerlukan pendidikan

Beberapa pendapat pakar tentang pendidikan :
  1. Crow and crow mengartikan pendidikan sebagai proses dimana pengalaman atau informasi diperoleh sebagai hasil dari proses belajar.
  2. John Dewey ( Pandangan pakar pendidikan dari Amerika) berpandangan bahwa pendidikan ialah satu proses membentuk kecenderungan asas yang berupa akal dan perasaan terhadap alam dan manusia
  3. Prof. Horne (tokoh pendidik di Amerika), berpendapat bahwa pendidikan merupakan proses abadi bagi menyesuaikan perkembangan diri manusia yang merangkum aspek jasmani, alam, akliah, kebebasan dan perasaan manusia terhadap Tuhan sebagaimana yang ternyata dalam akliah, perasaan dan kemauan manusia.
  4. Herbert Spencer, (ahli falsafah Inggris (820-903 M)), mengatakan bahwa pendidikan ialah mempersiapkan manusia supaya dapat hidup dengan kehidupan yang sempurna.
Pada hakikatnya pendidikan diperoleh melalui proses yang terdapat didalam suatu masyarakat dan individu didalamnya. Sehingga pendidikan itu tidak hanya berupa pendidikan formal yang diperoleh di lembaga pendidikan saja tetapi lebih bersifat menyeluruh yaitu adanya pendidikan informal dan non formal yang sebenarnya membantu tercapainya kesuksesan pembentukan kedewasaan anak. Semua ini karena pada dasarnya pendidikan formal informal, dan non formal merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan sehingga terdapat kesinambungan yang tidak bisa terpisahkan dalam kaitannya untuk menciptakan manusia yang sempurna dalam hal penguasaan iptek dan pengoptimalan potensi.

Hakikat belajar sepanjang hayat adalah belajar seumur hidup atau yang lebih dikenal dengan istilah life long education dan life long learning, bukan mendapat pendidikan seumur hidup. Dalam GBHN termaktub: “pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Karena itu, pendidikan ialah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah”. Ini berarti bahwa setiap insan di Indonesia dituntut untuk selalu berkembang sepanjang hidupnya. Oleh karean itu, masyarakat dan pemerintah harus menciptakan suasana atau iklim belajar yang baik, sebab pendidikan formal bukanlah satu-satunya tempat untuk belajar.

Pendidikan seumur hidup disebabkan oleh munculnya kebutuhan belajar dan kebutuhan pendidikan yang terus tumbuh dan berkembang selama alur kehidupan manusia, dalam arti belajar tidak ada putus-putusnya. Melalui proses belajar sepanjang hayat inilah, manusia mampu meningkatkan kualitas kehidupannya secara terus menerus, mampu mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi serta perkembangan masyarakat yang diakibatkannya, dan budaya untuk menghadapi tantangan masa depan serta mau dan mampu mengubah tantangan menjadi peluang.

Ciri-ciri manusia yang menjadi pelajar sepanjang hayat (Cropley 1977:49):
  1. Sadar bahwa dirinya harus belajar sepanjang hayat
  2. Memiliki pandangan bahwa belajar hal-hal yang baru merupakan cara logis untuk mengatasi masalah
  3. Bersemangat tinggi untuk belajar pada semua level
  4. Menyambut baik perubahan
  5. Percaya bahwa tantangan sepanjang hidup adalah peluang untuk belajar hal baru.
Urgensi pendidikan sepanjang hayat (Drs. H, Rfuad. Ihsan 1996:44-45):
  1. Aspek ekonomis, pendidikan merupakan cara yang paling efektif untuk dapat keluar dari “Lingkungan Setan Kemelaratan” akibat kebodohan. pendidikan seumur hidup akan memberi peluang bagi seseorang untuk meningkatkan produktivitas, memelihara dan mengembangkan sumber-sumber yang dimilikinya, hidup di lingkungan yang menyenangkan-sehat, dan memiliki motivasi dalam mendidik anak-anak secara tepat sehingga pendidikan keluarga menjadi penting.
  2. Aspek sosiologis, di negara berkembang banyak orangtua yang kurang menyadari pentingnya pendidikan sekolah bagi anak-anaknya, ada yang putus sekolah bahkan ada yang tidak sekolah sama sekali. pendidikan seumur hidup bagi orang tua merupakan problem solving terhadap fenomena tersebut. Aspek politis, pendidikan kewarganegaraan perlu diberikan kepada seluruh rakyat untuk memahami fungsi pemerintah, DPR, MPR, dan lembaga-lembaga negara lainnya. Tugas pendidikan seumur hidup menjadikan seluruh rakyat menyadari pentingnya hak-hak pada negara demokrasi.
  3. Aspek teknologis, pendidikan seumur hidup sebagai alternatif bagi para sarjana, teknisi dan pemimpin di negara berkembang untuk memperbaharui pengetahuan dan keterampilan seperti dilakukan negara-negara maju. Aspek psikologis dan pedagogis, sejalan dengan makin luas, dalam dan kompleknya ilmu pengetahuan, tidak mungkin lagi dapat diajarkan seluruhnya di sekolah. Tugas pendidikan sekolah hanya mengajarkan kepada peserta didik tentang metode belajar, menanamkan motivasi yang kuat untuk terus-menerus belajar sepanjang hidup, memberikan keterampilan secara cepat dan mengembangkan daya adaptasi. Untuk menerapkan pendidikan seumur hidup perlu diciptakan suasana yang kondusif.
Dari uraikan di atas dapatlah ditarik bahwa belajar sepanjang hayat adalah belajar seumur hidup yang merupakan kebutuhan manusia dalam usaha mengembangkan diri serta mempertahankan eksistensinya adalah melalui belajar yang dilakukan sepanjang hayatnya. Tanpa belajar, manusia akan mengalami kesulitan baik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan maupun dalam memenuhi tuntutan hidup dan kehidupan yang selalu berubah.

Ditulis ulang oleh Adi Kuswanto, S.Pd
Dari Sumber

17 Juni 2020

Guru Fokus Membangun Karakter Siswa

Guru adalah orangtua kedua bagi para siswa, setelah kedua orangtuanya di rumah. Maka sewajarnya guru mempunyai peranan besar dalam mentransfer ilmu dan memberi bekal ilmu kepada para siswanya.

Betapa pentingnya peran yang dimiliki, sehingga guru dinilai sebagai sosok berpendidikan yang diharapkan mampu mendidik anak bangsa untuk masa depan. Membentuk generasi penerus bangsa yang berkarakter Indonesia.

Guru tidak sekedar mendidik dan memberikan materi akademik saja di sekolah, namun lebih dari itu. Guru diharapkan juga dapat menanamkan nilai-nilai positif pada siswa, karena guru merupakan role model bagi para siswanya.

Untuk mendukung hal ini, para guru seyogyanya mengokohkan karakter dirinya dalam membangun karakter para siswanya. Ada beberapa hal sederhana dapat dilakukan para guru dalam membangun karakter siswa.

1. Menjadi contoh bagi siswanya

Guru dipandang sebagai orang tua yang lebih dewasa oleh para siswanya. Hal itu artinya, siswa menilai guru sebagai contoh dalam bertindak dan berperilaku. Hal ini menuntut guru harus pandai dalam menjaga sikap dan perilaku guna memberikan contoh terbaik.

Dengan mengingat diri sendiri sebagai contoh, maka guru akan lebih berhati-hati dalam bersikap, sehingga lebih bijak dari setiap tindakan yang akan diambil. Dari memberikan contoh, diharapkan murid bisa mengikuti sisi positif yang dimiliki guru.

2. Menjadi Apresiator

Sebagai guru hendaknya tidak hanya sekedar mementingkan nilai akademis, tetapi juga mengapresiasi usaha siswanya. Sebagai pengajar, menilai siswa dari segi akademis memang penting, namun juga perlu diingat bahwa menghargai kebaikan yang dilakukan siswa juga sangat perlu.
Cara sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan mengapresiasi usaha siswa tanpa selalu membandingkan dengan nilai yang didapatkan. Misalnya dengan memberikan pujian bagi siswa datang awal, rajin mengerjakan tugas, atau bersikap baik selama di sekolah.
Dengan membiasakan hal kecil seperti itu, siswapun akan dapat mengapresiasi diri atas usaha yang telah dilakukannya. Sehingga, akan terbangun karakter yang terus mau belajar dan memperbaiki diri untuk lebih baik.

3. Mengajarkan nilai moral pada setiap pelajaran

Kalau sekadar materi pelajaran, mungkin semua bisa saja tahu karena tertulis dalam buku pelajaran. Tetapi bagaimana dengan nilai moral? Untuk itu ada baiknya dalam setiap pelajaran, guru juga menanamkan nilai moral yang bisa dijadikan bahan pelajaran hidup.
Misalnya, saat mengajarkan Matematika guru tidak hanya sekadar memberikan rumus dan cara pengerjaan kepada siswa. Tetapi juga bisa mengajarkan nilai kehidupan seperti dengan mengerjakan soal Matematika kita bisa belajar untuk bersabar dan berusaha untuk memecahkan suatu masalah dengan mengasah logika berpikir.
Nah, dengan begitu, nantinya ketika siswa menghadapi suatu masalah dalam hidupnya, dia bisa berpikir optimis bahwa setiap masalah ada jalan keluarnya selama berusaha.
4. Bersikap jujur dan terbuka pada kesalahan
Guru juga manusia, sehingga tidak luput dari suatu kesalahan meski tidak pernah berniat melakukan hal itu atau tanpa sengaja. Misalnya, suatu ketika guru datang terlambat, salah dalam mengoreksi jawaban siswa.
Untuk memberikan contoh yang baik, guru sebaiknya mau mengakui kesalahan yang dibuat sekecil apapun itu. Sehingga hal itu akan teringat dalam diri siswa untuk bersikap yang sama ketika melakukan kesalahan meski tidak disengaja.
Mungkin terkadang ada rasa gengsi, tetapi tetap harus dilakukan, karena itu bisa menjadi pelajaran yang baik pada siswa. Bahwa sebagai manusia kita harus berani jujur sama diri sendiri dan mau mengakui kesalahan yang telah diperbuat.
Dari situlah para siswa bisa belajar bagaimana cara untuk memperbaiki kesalahan dan berani bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuatnya.
5. Mengajarkan sopan santun
Hal yang sering luput diajarkan di sekolah adalah bagaimana cara bersikap sopan santun. Mungkin terdengar sederhana, tetapi ini merupakan hal penting yang layak diajarkan kepada siswa untuk menjaga sikap dan mengetahui mana yang benar dan salah.
Tidak jarang guru menemui siswa yang bersikap tidak sopan hanya karena mereka tidak tahu bagaimana cara bersikap yang baik dan benar. Atau malah selama ini mereka mencontoh sikap negatif orang di sekitarnya. Sehingga mereka menganggap itu sebagai hal yang lumrah.
Ada baiknya, ketika ada siswa bersikap kurang baik atau kurang sopan, guru berperan untuk mengoreksi sikap tersebut. Jangan memarahi, tetapi cukup mengingatkan saja bahwa sikapnya itu kurang baik dan berikan alternatif tindakan lain yang lebih positif. Gunakan pendekatan yang halus namun mengena.
6. Memberi kesempatan siswa belajar menjadi pemimpin
Saat ini, mempunyai karakter memimpin merupakan hal yang krusial untuk dimiliki. Menyadari hal ini, ada baiknya guru juga bisa membantu siswa untuk melatih jiwa kepemimpinan mereka.
Cara sederhananya, bisa dengan membuat tugas kelompok dan memastikan setiap anggota mempunyai kesempatan sebagai ketua kelompok. Jadi, tidak hanya siswa itu-itu saja yang jadi ketua kelompok, tetapi semua bisa belajar jadi pemimpin.
Setelah melakukan aktivitas ini, guru bisa mengevaluasi hal positif yang bisa jadi pembelajaran siswa untuk memimpin lebih baik lagi. Berilah masukan yang memotivasi, jadi bagi siswa yang merasa kurang percaya diri bisa semangat untuk terus belajar lebih baik lagi.
7. Berbagi pengalaman inspiratif
Tidak ada salahnya, sesekali menceritakan pengalaman personal yang dimiliki guru untuk dibagikan kepada para siswa. Tidak harus cerita yang hebat untuk menginspirasi, sekecil apapun pengalaman yang diceritakan tetap bisa menjadi pembelajaran yang berguna untuk para siswa.
Dengan berbagi pengalaman, siswa jadi terinspirasi dan dapat belajar dari pengalaman guru. Sehingga mereka tidak menjadi generasi yang minder, namun generasi yang tetap melakukan kebaikan meskipun itu dinilai kecil. Karena yang terpenting adalah karakter keberanian itulah yang perlu ditanamkan guru kepada siswa.
Itulah hal-hal sederhana yang bisa dilakukan guru dalam membangun karakter pada siswa. Dengan cara sederhana ini, diharapkan bisa mendidik siswa tidak hanya pada kemampuan akademis saja tetapi juga pribadi yang positif, yang berkarakter Indonesia.
Ditulis ulang oleh Adi Kuswanto, S.Pd
dari Sumber