Sadarkah kita (orang
tua), bahwa setelah lingkungan rumah, sekolah merupakan lingkungan yang amat
penting bagi perkembangan Anak? Mereka menghabiskan waktu di tempat ini dalam
jangka waktu yang cukup lama. Dari pagi, kadang hingga menjelang petang, akibat
kegiatan ekstrakurikuler yang menyita waktu. Itu artinya, lingkungan sekolah
bisa jadi merupakan rumah kedua bagi Anak.
Oleh sebab itu, kita
harus memastikan bahwa anak senang dan nyaman melakukan kegiatan belajar di
sekolah. Untuk mendukung hal ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan dan program
terkait Sekolah Ramah Anak atau SRA. Apa itu SRA? Saya akan mencoba menjabarkannya
kepada kita semua.
Sekolah Ramah Anak
atau SRA adalah program yang diselenggarakan oleh pemerintah Republik
Indonesia. Kebijakan ini dilansir oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia (KemenPPPA).
Menurut lembaran
Panduan Sekolah Ramah Anak yang
penyusunannya telah melibatkan 12 kementerian, badan, serta yayasan terkait
kesejahteraan anak, tujuan disusunnya Kebijakan SRA adalah untuk dapat
memenuhi, menjamin dan melindungi hak-hak yang dimiliki oleh anak.
Tujuan lainnya
adalah memastikan bahwa sekolah mampu mengembangkan minat, bakat dan kemampuan
anak serta mempersiapkan anak untuk bertanggung jawab kepada kehidupan yang
toleran, saling menghormati, bekerjasama untuk kemajuan dan semangat
perdamaian.
Nantinya, sekolah
diharapkan tidak hanya melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual,
namun juga melahirkan generasi yang cerdas secara emosional dan spiritual.
Mengapa kebijakan
Sekolah Ramah Anak ini dimunculkan?
Menurut KemenPPPA,
program ini lahir salah satunya adalah karena proses pendidikan di Indonesia
yang masih menjadikan anak sebagai objek. Dalam hal ini, guru selalu berada di
pihak yang selalu benar. Bullying oleh guru pun lebih mudah terjadi, baik di
sekolah maupun madrasah.
Ternyata, menurut data
KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) tahun 2014-2015 terkait Kasus
Kekerasan (kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran terhadap anak),
sebanyak 10 persen di antaranya dilakukan oleh para guru.
Bentuk-bentuk
kekerasan yang banyak ditemukan adalah berupa pelecehan (bullying), dan juga
bentuk-bentuk hukuman yang tidak mendidik bagi peserta didik. Sesuai dengan
data KPAI pada tahun 2013, contohnya adalah mencubit (504 kasus), membentak
dengan suara keras (357 kasus) dan menjewer (379 kasus).
SRA mengurus juga
JAJANAN sekolah
Selain guru, yang
jelas teman sekelas juga memiliki pontensi untuk melakukan bullying. Selain
itu, terdapat pula kekhawatiran orangtua terhadap kasus keracunan pada anak
sekolah, yang disebabkan oleh jajanan yang tercemar oleh zat- zat yang
membahayakan. Juga kasus anak yang menjadi korban karena sarana prasarana yang
tidak kokoh. Misalnya akibat bangunan yang tak layak, atau sudah rusak.
Termasuk area bermain anak.
Kita juga perlu
berhati-hati, karena kekerasan pada anak juga rawan terjadi akibat 55 persen
orangtua memberikan akses kepada anak terhadap kepemilikan ponsel dan internet.
Selain itu, menurut data KPAI, sebanyak 63 persen orangtua menyatakan bahwa
tidak melakukan pengawasan terhadap konten yang diakses oleh anak-anak (KPAI).
Hal buruk lain
terkait anak juga termasuk pengaruh teman-teman yang memengaruhi anak agar
menjadi perokok atau pengguna napza.
Enam Komponen
penting Sekolah Ramah Anak
- Sejatinya, SRA tak bisa diwujudkan hanya dengan mengandalkan sekolah. Menurut KemenPPPA, penerapan Sekolah Ramah Anak (SRA) dilaksanakan dengan merujuk enam komponen penting, yaitu:
- Adanya komitmen tertulis yang dapat dianggap sebagai kebijakan tentang SRA oleh sekolah. Ini artinya, sekolah memang benar-benar akan menjalankan program ini sesuai dengan perencanaan pelaksanaan yang ditetapkan oleh sekolah itu sendiri.
- Pelaksanaan proses pembelajaran yang ramah anak di sekolah. Artinya anak bisa merasakan kenyamanan di lingkungan sekolahnya, seperti perlakuan dari guru dan teman-teman di sekitarnya.
- Adanya para pendidik dan tenaga kependidikan yang terlatih serta memahami hak-hak anak. Artinya pendidik memang memiliki kompetensi di bidangnya dan bisa memperlakukan anak sesuai hak yang si Anak miliki.
- Sarana dan prasarana di sekolah yang ramah anak. Ini artinya anak merasa nyaman terhadap fasilitas di sekolah yang ia gunakan. Anak tidak merasa takut atau terancam dari segi keselamatan.
- Partisipasi dari anak-anak sendiri dalam pelaksanaan program ini. Tentunya ini terkait dengan perilaku anak dalam bersosialisasi di sekolah, termasuk taat kepada tata tertib sekolah.
- Partisipasi dari orangtua sebagai pendidik utama, lembaga-lembaga masyarakat, dunia usaha untuk mendukung sekolah, dan bahkan para alumni sekolah. Kita selaku orangtua juga perlu memantau kegiatan anak di sekolah, dan juga perilakunya.
Program lain yang
dicanangkan pemerintah terkait Sekolah Ramah Anak
Pemerintah tentu
tidak tinggal diam dalam mendorong program SRA ini. Bermacam upaya dan label
dilekatkan oleh pemerintah dan berbagai pihak, pada sekolah-sekolah untuk
menunjukkan bahwa sekolah tersebut memiliki program ramah anak.
Contohnya adalah:
- Sekolah Adiwiyata (yang dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan)
- Sekolah/Madrasah Aman Bencana (BNPB)
- Sekolah Inklusif (Kemendikbud)
- Sekolah Anti Kekerasan (Kemendikbud)
- Children Friendly School (CSF) – UNICEF
- Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) – Kemenkes
- Pangan Jajan Anak Sekolah (BPOM)
- Warung Kejujuran (KPK)
- Sekolah Bebas Napza (BNN)
- Pesantren Ramah Anak (Kemenag)
Beberapa indikator
yang bisa kita lihat, apakah Sekolah Ramah Anak
Murid-muridnya
memiliki sikap antikekerasan, sikap toleransi yang tinggi, setia kawan, peduli
lingkungan, dan bangga terhadap sekolahnya.
- Anak bebas dari kekerasan fisik, seksual, maupun emosional (dengan mengata-ngatai anak dengan perkataan bodoh atau nakal, misalnya), baik dari guru maupun teman,
- Anak diperlakukan secara adil tanpa memandang SARA, sekolahnya menghargai keberagaman.
- Si Anak merasa aman dan nyaman dalam kegiatannya bersekolah, termasuk belajar di kelas yang rapi dan bersih, dan lingkungan sekolah yang tak membahayakan dan tertata baik.
- Anak senang mengikuti pelajaran dan tidak memiliki rasa takut, cemas, was-was, atau rendah diri dalam bersaing dengan teman lainnya. Anak tidak dipermalukan oleh guru saat prestasinya menurun.
- Anak terlibat dalam kepedulian terhadap lingkungannya. Antara lain dalam kegiatan kerja bakti di sekolah.
- Kita juga bisa bertanya kepada anak, makanan apa saja yang dijual di kantin sekolah? Berbahayakan bagi anak? Apakah sekolah menyediakan tempat duduk untuk pembeli?
- Anak tidak dilibatkan dalam urusan keuangan yang terkait dengan kewajiban orangtua, dan anak tidak menerima sindiran saat tidak memberikan sumbangan dalam kegiatan amal tertentu.
- Tata tertib sekolah transparan. Orang tua dan anak bisa mengakses dan memahaminya pada awal tahun pelajaran. Demikian pula dengan sanksi yang akan diberikan kepada anak jika melanggarnya.
Diambil dari Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar