Selamat datang di Website SMP Negeri 1 Weru Sukoharjo, Sekolah Standar Nasional. VISI : Terwujudnya Lulusan Yang Berprofil Pelajar Pancasila, Cakap Dalam Literasi Dan Numerasi Serta Berwawasan Lingkungan.


21 Juni 2020

Sekolah Ramah Anak (SRA)

Sadarkah kita (orang tua), bahwa setelah lingkungan rumah, sekolah merupakan lingkungan yang amat penting bagi perkembangan Anak? Mereka menghabiskan waktu di tempat ini dalam jangka waktu yang cukup lama. Dari pagi, kadang hingga menjelang petang, akibat kegiatan ekstrakurikuler yang menyita waktu. Itu artinya, lingkungan sekolah bisa jadi merupakan rumah kedua bagi Anak.

Oleh sebab itu, kita harus memastikan bahwa anak senang dan nyaman melakukan kegiatan belajar di sekolah. Untuk mendukung hal ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan dan program terkait Sekolah Ramah Anak atau SRA. Apa itu SRA? Saya akan mencoba menjabarkannya kepada kita semua.

Sekolah Ramah Anak atau SRA adalah program yang diselenggarakan oleh pemerintah Republik Indonesia. Kebijakan ini dilansir oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KemenPPPA).

Menurut lembaran Panduan Sekolah Ramah Anak  yang penyusunannya telah melibatkan 12 kementerian, badan, serta yayasan terkait kesejahteraan anak, tujuan disusunnya Kebijakan SRA adalah untuk dapat memenuhi, menjamin dan melindungi hak-hak yang dimiliki oleh anak. 

Tujuan lainnya adalah memastikan bahwa sekolah mampu mengembangkan minat, bakat dan kemampuan anak serta mempersiapkan anak untuk bertanggung jawab kepada kehidupan yang toleran, saling menghormati, bekerjasama untuk kemajuan dan semangat perdamaian. 

Nantinya, sekolah diharapkan tidak hanya melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual, namun juga melahirkan generasi yang cerdas secara emosional dan spiritual. 

Mengapa kebijakan Sekolah Ramah Anak ini dimunculkan? 

Menurut KemenPPPA, program ini lahir salah satunya adalah karena proses pendidikan di Indonesia yang masih menjadikan anak sebagai objek. Dalam hal ini, guru selalu berada di pihak yang selalu benar. Bullying oleh guru pun lebih mudah terjadi, baik di sekolah maupun madrasah. 

Ternyata, menurut data KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) tahun 2014-2015 terkait Kasus Kekerasan (kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran terhadap anak), sebanyak 10 persen di antaranya dilakukan oleh para guru. 

Bentuk-bentuk kekerasan yang banyak ditemukan adalah berupa pelecehan (bullying), dan juga bentuk-bentuk hukuman yang tidak mendidik bagi peserta didik. Sesuai dengan data KPAI pada tahun 2013, contohnya adalah mencubit (504 kasus), membentak dengan suara keras (357 kasus) dan menjewer (379 kasus). 

SRA mengurus juga JAJANAN sekolah 

Selain guru, yang jelas teman sekelas juga memiliki pontensi untuk melakukan bullying. Selain itu, terdapat pula kekhawatiran orangtua terhadap kasus keracunan pada anak sekolah, yang disebabkan oleh jajanan yang tercemar oleh zat- zat yang membahayakan. Juga kasus anak yang menjadi korban karena sarana prasarana yang tidak kokoh. Misalnya akibat bangunan yang tak layak, atau sudah rusak. Termasuk area bermain anak. 

Kita juga perlu berhati-hati, karena kekerasan pada anak juga rawan terjadi akibat 55 persen orangtua memberikan akses kepada anak terhadap kepemilikan ponsel dan internet. Selain itu, menurut data KPAI, sebanyak 63 persen orangtua menyatakan bahwa tidak melakukan pengawasan terhadap konten yang diakses oleh anak-anak (KPAI). 

Hal buruk lain terkait anak juga termasuk pengaruh teman-teman yang memengaruhi anak agar menjadi perokok atau pengguna napza. 

Enam Komponen penting Sekolah Ramah Anak
  1. Sejatinya, SRA tak bisa diwujudkan hanya dengan mengandalkan sekolah. Menurut KemenPPPA, penerapan Sekolah Ramah Anak (SRA) dilaksanakan dengan merujuk enam komponen penting, yaitu:
  2. Adanya komitmen tertulis yang dapat dianggap sebagai kebijakan tentang SRA oleh sekolah. Ini artinya, sekolah memang benar-benar akan menjalankan program ini sesuai dengan perencanaan pelaksanaan yang ditetapkan oleh sekolah itu sendiri.
  3. Pelaksanaan proses pembelajaran yang ramah anak di sekolah. Artinya anak bisa merasakan kenyamanan di lingkungan sekolahnya, seperti perlakuan dari guru dan teman-teman di sekitarnya.
  4. Adanya para pendidik dan tenaga kependidikan yang terlatih serta memahami hak-hak anak. Artinya pendidik memang memiliki kompetensi di bidangnya dan bisa memperlakukan anak sesuai hak yang si Anak miliki.
  5. Sarana dan prasarana di sekolah yang ramah anak. Ini artinya anak merasa nyaman terhadap fasilitas di sekolah yang ia gunakan. Anak tidak merasa takut atau terancam dari segi keselamatan.
  6. Partisipasi dari anak-anak sendiri dalam pelaksanaan program ini. Tentunya ini terkait dengan perilaku anak dalam bersosialisasi di sekolah, termasuk taat kepada tata tertib sekolah.
  7. Partisipasi dari orangtua sebagai pendidik utama, lembaga-lembaga masyarakat, dunia usaha untuk mendukung sekolah, dan bahkan para alumni sekolah. Kita selaku orangtua juga perlu memantau kegiatan anak di sekolah, dan juga perilakunya.
Program lain yang dicanangkan pemerintah terkait Sekolah Ramah Anak 

Pemerintah tentu tidak tinggal diam dalam mendorong program SRA ini. Bermacam upaya dan label dilekatkan oleh pemerintah dan berbagai pihak, pada sekolah-sekolah untuk menunjukkan bahwa sekolah tersebut memiliki program ramah anak. 

Contohnya adalah:
  1. Sekolah Adiwiyata (yang dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan)
  2. Sekolah/Madrasah Aman Bencana (BNPB)
  3. Sekolah Inklusif (Kemendikbud)
  4. Sekolah Anti Kekerasan (Kemendikbud)
  5. Children Friendly School (CSF) – UNICEF
  6. Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) – Kemenkes
  7. Pangan Jajan Anak Sekolah (BPOM)
  8. Warung Kejujuran (KPK)
  9. Sekolah Bebas Napza (BNN)
  10. Pesantren Ramah Anak (Kemenag)
Beberapa indikator yang bisa kita lihat, apakah Sekolah Ramah Anak

Murid-muridnya memiliki sikap antikekerasan, sikap toleransi yang tinggi, setia kawan, peduli lingkungan, dan bangga terhadap sekolahnya.
  1. Anak bebas dari kekerasan fisik, seksual, maupun emosional (dengan mengata-ngatai anak dengan perkataan bodoh atau nakal, misalnya), baik dari guru maupun teman,
  2. Anak diperlakukan secara adil tanpa memandang SARA, sekolahnya menghargai keberagaman.
  3. Si Anak merasa aman dan nyaman dalam kegiatannya bersekolah, termasuk belajar di kelas yang rapi dan bersih, dan lingkungan sekolah yang tak membahayakan dan tertata baik.
  4. Anak senang mengikuti pelajaran dan tidak memiliki rasa takut, cemas, was-was, atau rendah diri dalam bersaing dengan teman lainnya. Anak tidak dipermalukan oleh guru saat prestasinya menurun.
  5. Anak terlibat dalam kepedulian terhadap lingkungannya. Antara lain dalam kegiatan kerja bakti di sekolah.
  6. Kita juga bisa bertanya kepada anak, makanan apa saja yang dijual di kantin sekolah? Berbahayakan bagi anak? Apakah sekolah menyediakan tempat duduk untuk pembeli?
  7. Anak tidak dilibatkan dalam urusan keuangan yang terkait dengan kewajiban orangtua, dan anak tidak menerima sindiran saat tidak memberikan sumbangan dalam kegiatan amal tertentu.
  8. Tata tertib sekolah transparan. Orang tua dan anak bisa mengakses dan memahaminya pada awal tahun pelajaran. Demikian pula dengan sanksi yang akan diberikan kepada anak jika melanggarnya.
Ditulis ulang oleh Adi Kuswanto, S.Pd
Diambil dari Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar