Siswa adalah pribadi yang spesial dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dia adalah seorang manusia yang diciptakan-NYA dengan istimewa. Oleh karena itu guru / seorang pengajar bukanlah sekedar suatu pekerjaan, namun harus mampu memahami konsep tentang pribadi siswa yang istimewa tersebut. Mengajar janganlah diartikan hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada siswa, namun lebih lagi daripada itu yaitu suatu proses mengatur lingkungan atau kondisi dimana siswa dapat belajar dan mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya.
Siswa merupakan pribadi yang
unik, dimana siswa itu merupakan individu manusia yang memiliki karakteristik
yang sangat kompleks. Setiap individu pastinya memiliki potensi, intelegensi
yang berbeda dengan yang lainnya. Semua itu akan membentuk kepribadian yang
unik dan khas. Siswa yang satu akan berbeda dengan siswa yang lain. Seorang guru akan dihadapkan dalam situasi keragaman karakteristik siswa. Oleh
karena itu, seorang guru perlu memiliki kemampuan dalam merancang dan
mengimplementasikan berbagai strategi maupun metode dalam pembelajaran yang
kita anggap cocok dengan minat, bakat serta sesuai dengan taraf perkembangan
siswa. Agar siswa dapat mengembangkan potensi yang ia miliki.
Menurut Hurlock (1981) remaja
adalah mereka yang berada pada usia 12-18 tahun. Monks, dkk (2000) memberi
batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock,
2003) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan
yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama,
tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Bahkan ada yang dikenal juga
dengan istilah remaja yang diperpanjang, dan remaja yang diperpendek. Remaja
adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Statemen ini sudah dikemukakan jauh
pada masa lalu yaitu di awal abad ke-20 oleh Bapak Psikologi Remaja yaitu
Stanley Hall. Pendapat Stanley Hall pada saat itu yaitu bahwa masa remaja
merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress) sampai sekarang masih
banyak dikutip orang. Menurut Erickson masa remaja adalah masa terjadinya
krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan
oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada
remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure, dan
identity achieved (Santrock, 2003, Papalia, dkk, 2001, Monks, dkk, 2000, Muss,
1988). Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri
ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja. Gunarsa (1989) merangkum
beberapa karakteristik remaja yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan pada
diri remaja, yaitu:
- Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam
gerakan.
- Ketidakstabilan emosi.
- Adanya perasaan kosong akibat perombakan pandangan
dan petunjuk hidup.
- Adanya sikap bersebrangan atau menentang orang tua.
- Adanya pertentangan di dalam dirinya. Hal ini sering menjadi
pangkal penyebab pertentangan-pertentang dengan orang tua.
- Kegelisahan karena banyak hal diinginkan tetapi
remaja tidak sanggup memenuhi semuanya.
- Senang bereksperimentasi.
- Senang bereksplorasi.
- Mempunyai banyak fantasi, khayalan, dan bualan.
- Kecenderungan membentuk kelompok dan kecenderungan
kegiatan berkelompok.
Berdasarkan tinjauan teori
perkembangan, usia remaja adalah masa saat terjadinya perubahan-perubahan yang
cepat, termasuk perubahan fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan
pencapaian (Fagan, 2006). Sebagian remaja mampu mengatasi transisi ini dengan
baik, namun beberapa remaja bisa jadi mengalami penurunan pada kondisi psikis,
fisiologis, dan sosial. Akhir-akhir ini banyak orang tua maupun pendidik yang
merasa khawatir bahwa anak-anak mereka terutama remaja mengalami degradasi
moral. Sementara remaja sendiri juga sering dihadapkan pada dilema-dilema moral
sehingga remaja merasa bingung terhadap keputusan-keputusan moral yang harus
diambilnya. Walaupun di dalam keluarga mereka sudah ditanamkan nilai-nilai,
tetapi remaja akan merasa bingung ketika menghadapi kenyataan ternyata
nilai-nilai tersebut sangat berbeda dengan nilai-nilai yang dihadapi bersama
teman-temannya maupun di lingkungan yang berbeda.
Pengembangan Potensi Remaja
Pengembangan potensi peserta
didik merupakan proses yang disengaja dan sistematis dalam
membiasakan/mengkondisikan peserta didik agar memiliki kecakapan dan
keterampilan hidup. Untuk dapat mengembangkan, sebelum ataupun bersamaan dengan
usaha kongkrit dilakukan, sangat perlu adanya pengertian dan pemahaman para
pendidik terhadap remaja. Kecakapan dan keterampilan yang dimaksud berarti
luas, baik kecakapan personal (personal skill) yang mencakup; kecakapan
mengenali diri sendiri (self awareness) dan kecakapan berpikir rasional
(thinking skill), kecakapan sosial (social skill), kecakapan akademik (academic
skill), maupun kecakapan vokasional (vocational skill). Kegiatan pendidikan
pada tahap melatih lebih mengarah pada konsep pengembangan kemampuan motorik
peserta didik. Terkait dengan proses melatih ini, perlu dilakukan pembiasaan
dan pengkondisian anak dalam berpikir secara kritis, strategis dan taktis dalam
proses pembelajaran. Peserta didik dilatih memahami, merumuskan, memilih cara
pemecahan dan memahami proses pemecahan “masalah”. Berangkat dari kondisi
tersebut, maka budaya instant dalam pembelajaran yang selama ini dibudayakan
harus ditinggalkan, menuju proses pemberdayaan seluruh unsur dalam sistem
pembelajaran. Namun, dalam kenyataan, kita menemukan banyak remaja menjadi
remaja yang seakan-akan terlahir bodoh, tanpa potensi apa pun. Ada dua hal yang
harus kita perhatikan dalam upaya menggali potensi remaja sehingga mereka bisa
meraih impian masa depannya. Pertama, konsep diri dan kedua, pandangan yang
benar mengenai kecerdasan. Tiap upaya untuk menggali maupun meningkatkan
potensi, prestasi maupun kompetensi seseorang, tidak terlepas dari yang bernama
konsep diri. Konsep diri seorang remaja adalah cara pandangnya terhadap dirinya
sendiri. Konsep diri seorang remaja terbentuk melalui pengalaman dan interaksi
dengan lingkungan serta dipengaruhi siapa yang dianggap memiliki otoritas
terhadap dirinya. Bagi anak remaja, guru dan orangtua-lah yang dianggap
memiliki otoritas. Kosep diri ini mempengaruhi cara seorang remaja berpikir,
bersikap dan bertindak dalam hal apa pun, baik dalam berhubungan dengan orang
lain maupun dalam kegiatan yang dikerjakan. Kosep diri terdiri atas diri ideal,
citra diri dan harga diri.
Selama ini orang selalu menilai
seorang remaja berbakat dan pintar hanya dari nilai yang diperoleh di sekolah,
sehingga jika seorang remaja mendapatkan nilai yang kurang dengan cepat orang
akan mengatakan bahwa si remaja bodoh dan tidak memiliki potensi apa pun.
Pandangan dan penilaian semacam ini sangat keliru dan menyesatkan. Akibat
pandangan keliru itu si remaja tidak dapat mengembangkan dan menemukan potensi
yang ada dalam dirinya. Profesor Howard Gardner dari Universitas Harvard telah
mengembangkan model kecerdasan yang disebut multiple intelligence lebih 20
tahun. Ia tiba pada satu pandangan bahwa kecerdasan bukanlah sesuatu yang
bersifat tetap. Kecerdasan akan lebih tepat kalau digambarkan sebagai suatu
kumpulan kemampuan atau keterampilan yang dapat ditumbuhkan dan dikembangkan.
Kecerdasan bersifat laten, ada di diri tiap manusia tetapi dengan kadar
pengembangan yang berbeda. Dalam menjelaskan mengenai kecerdasan, ia
menggunakan kata ‘bakat’ atau ‘talenta’. Konsep multiple intelligence yang
dikembangkannya terdiri atasi delapan jenis kecerdasan, yaitu:
- Kecerdasan linguistik, kemampuan dalam bidang
bahasa.
- Kecerdasan matematika dan logika, kemampuan dalam
berpikir abstrak dan terstruktur.
- Kecerdasan visual dan spasial, kemampuan yang
berhubungan dengan gambar, diagram, peta, maupun grafik.
- Kecerdasan musik, kemampuan yang sangat kreatif
dalam hal musik.
- Kecerdasan interpersonal, mampu bergaul dan
beradaptasi dengan cepat, mampu menjadi mediator, dan pintar dalam hal
berkomunikasi
- Kecerdasan intrapersonal, kemampuan untuk dapat
mengerti diri sendiri serta kemampuan untuk memperhatikan nilai dan etika
hidup.
- Kecerdasan kinestetik, ahli dalam hal-hal yang
berhubungan dengan fisik, pekerjaan tangan dan dalam hal mengelolah suatu
objek.
- Kecerdasan naturalis, kemampuan untuk mencintai
alam dan berinteraksi dengan hewan maupun tumbuhan
Pengembangan potensi seorang
remaja hendaklah memperhatikan hal-hal tersebut. Meniadakan atau
mengesampingkan salah satu aspek di dalamnya merupakan pekerjaan sia-sia dalam
usaha menggali potensi seorang remaja. Perlu dukungan dari orangtua dan guru
dalam mengembangkan potensi yang ada dalam diri seorang remaja sehingga mereka
bisa meraih semua impian masa depan mereka. Bantu mereka agar memiliki konsep
diri yang baik dan benar, lihatlah mereka dari sudut pandang multiple
intelligence, biarkan mereka berkembang sesuai dengan kecerdasan yang mereka
miliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar