Selamat datang di Website SMP Negeri 1 Weru Sukoharjo, Sekolah Standar Nasional. VISI : Terwujudnya Lulusan Yang Berprofil Pelajar Pancasila, Cakap Dalam Literasi Dan Numerasi Serta Berwawasan Lingkungan.


25 Juni 2020

Menanamkan Nilai-Nilai Karakter Peserta Didik melalui Pembiasaan dan Komunitas Moral di Kelas

PENDAHULUAN

Perkembangan zaman yang bersifat global dalam segala bidang keilmuan tentu berpengaruh terhadap pola pikir dan perilaku. Akibatnya, dampak secara global diperlukan langkah-langkah taktis-strategis melalui penguatan karakter, serta nilai-nilai sosial budaya yang relevan dan diperlukan untuk memajukan bangsa. Harus diakui bahwa lemahnya penanaman nilai-nilai kejujuran peserta didik bersumber dari rendahnya kualitas pendidikan karakter yang diberikan.

Pendidikan yang kurang berkualitas tidak lagi mampu menawarkan program dan situasi yang berdampak jangka panjang bagi tumbuhnya karakter seseorang. Ibid (dalam Zubaedi, 2017:377), Karakter adalah gabungan dari kebiasaankebiasaan yang dilakukan terus-menerus dengan mengakar kuat dalam kepribadian seseorang. Kemampuan menghayati kewajiban sebagai sebuah keniscayaan tidaklah lahir dengan sendirinya, tetapi tumbuh melalui suatu proses, usaha menumbuhkembangkan dapat ditempuh melalui pendidikan karakter dengan pembiasaan dan penciptaaan komunitas moral di kelas.

Pembentukan budaya dan karakter di sekolah bukan hanya dibebankan pada mata pelajaran terpisah yang menggunakan pendekatan akademik dan teoritik, tetapi hasil belajar dari pendidikan karakter tidak sekedar pengetahuan hafalan yang diuji dan dinilai dengan skor nilai, namun hasil belajar berisi kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan dalam dimensi karakter yang diuji dengan proses penilaian dan produk, sehingga pembentukan karakter menjadi sikap yang menjadi bagian jiwanya kemudian menjelma dalam perilaku. Karena perbuatan dan perilaku adalah manifestasi konkret terhadap nilai perbuatan dari pendidikan karakter itu sendiri yang dapat diterapkan melalui pembiasaan dan komunitas moral di kelas. Tidak dapat dipungkiri bahwa degradasi moral semakin hari semakin dalam kondisi memprihatikan, tingginya tingkat kekerasan dalam lingkungan sekolah, tingkat bullying serta perilakuperilaku siswa yang kian menyimpang dari norma-norma serta banyaknya kasus-kasus yang terjadi di sekolah.

Disamping itu, dengan perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi yang begitu pesat dan sulit dibendung, akan sangat berpengaruh terhadap pembiasaan. Pembiasaan sikap menghargai dan rasa hormat kepada diri sendiri, menghormati kepada orang lain yang lebih tua, kemampuan untuk mengendalikan diri dan mengontrol emosi, perilaku santun yang sesuai dengan tatanan norma sudah mulai berkurang. Hal ini dapat dicegah dan diatasi melalui terbentuknya iklim sekolah yang baik guna mendukung keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter yang diawali dari pembentukan suasana kelas yang baik terlebih dahulu.

Menurut John Dewey, (dalam Zubeadi, 2017), Pendidikan dikatakan gagal, jika tidak menganggap sekolah sebagai salah satu bentuk kehidupan masyarakat. Penerapan pendidikan karakter melalui pembiasan dan komunitas moral di kelas dapat menurunkan perilaku saling mengejek dan juga menurunkan tingkat perselisihan antar pelajar. Sebagian besar masalah perilaku disebabkan oleh peserta didik tidak mengerti mengapa hal-hal tertentu harus dilakukan dan yang lain tidak dilakukan. Sehingga guru harus menyadari bahwa intensif seperti reward dan hadiah lainnya hanyalah bersifat sementara sebagai perangsang agar mereka bersikap benar. Akan tetapi, jika keinginan untuk hadiah atau reward tetap mendominasi sebagai motif, ini justru akan menjadi penghalang dari pada membantu kesikap karakter yang benar. Untuk itu, agar bisa berhasil dalam mengajarkan sikap hormat dan bertanggung jawab, seorang pendidik harus menjadikan upaya pembentukan komunitas moral kelas sebagai tujuan pendidikan utama.

Oleh karena itu, penanaman nilainilai karakter perlu diterapkan pada diri masing-masing peserta didik melalui pembiasaan dan penciptaan komunitas moral di kelas. Dengan menjadikan pembiasaan dan komunitas moral di kelas sebagai upaya menanamkan nilai-nlai pendidikan karakter, peserta didik akan belajar tentang moralitas dengan cara mempraktikkannya melalui pembiasaan. Oleh karena itu, mereka harus berada dalam sebuah komunitas-interaksi, menjalin hubungan, menyelesaikan masalah, berkembang sebagai sebuah kelompok, dan belajar langsung dari pengalaman sosial yang mereka rasakan sendiri. melalui pembiasaan secara rutin, simultan, dan berkesinambungan akan efektif daripada pola teoritis doktrinal. Hal ini mengingat melalui kegiatan pembiasaan akan menjadikan peserta didik mengalami proses imitasi, identifikasi, sugesti, dan simpati terhadap perilaku bermuatan nilai-nilai karakter. Sikap dan perilaku yang bermoral pada anak akan berkembang sebagaimana lingkungan yang mengajarinya dan lingkungan tersebut menjadi kebiasaan yang dihadapinya setiap hari.

ANALISIS

Pendidikan karakter adalah suatu payung istilah yang menjelaskan berbagai aspek pengajaran dan pembelajaran bagi perkembangan personal. Beberapa area dibawah payung ini meliputi penalaran moral atau pengembangan kognitif, pembelajaran sosial dan emosional, pendidikan kebajikan moral, dan pendidikan keterampilan hidup yang dimulai dari pembelajaran di kelas. Terbentuknya iklim sekolah yang baik guna mendukung keberhasilan pelaksanaan program pendidikan karakter diawali dengan pembentukan suasana kelas yang baik terlebih dahulu. Pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan karakter yang baik.

Sudrajat (dalam Zubaedi, 2017:375), mengemukakan bahwa ada empat strategi yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pendidikan karakter dalam menumbuhkan nilai-nilai moral di lingkungan akademik yaitu meliputi; pengajaran (teaching), keteladanan (modeling), penguatan (reinforcing), dan pembiasaan (habituating). Dalam buku yang berjudul The Habits of Highly Effective Teens, Stephen R. Covery mengungkapkan, bahwa ada tujuh kebiasaan yang dapat diterapkan dalam mendidik karakter anak didik, yaitu bersikap proaktif, memulai dengan tujuan akhir, mendahulukan yang utama, berpikir menang, berusaha memahami terlebih dahulu baru dipahami, mewujudkan sinergitas, dan prinsip pembaruan yang seimbang.

Menurut David Brooks dan Mark Kann (dalam Zubaedi,2017:373) membuat daftar sebelas elemen yang sangat penting untuk pendidikan karakter yang diterapkan melalui pembiasaan dan komunitas moral di kelas, yaitu; harus ada instruksi langsung dalam pendidikan watak, untuk anak-anak harus terbiasa dengan kebajikan, mereka harus mendengar dan melihat kata-kata, belajar maknanya, mengidentifikasi perilaku yang tepat dan menerapkannya. Penggunaan bahasa yang baik sangat penting bagi anak-anak, mereka harus didorong untuk menggunakan bahasa kebajikan dan guru harus menghindari bahasa negatif seperti “jangan terlambat” atau “jangan lupa” dan mengganti dengan “tepat waktu” atau “bersiaplah”.

Hasil studi Lewis dan Schaos (1996) menunjukkan bahwa suasana kelas yang kondusif akan mempunyai dampak yang positif, karena; harapan dan kemampuan akademik siswa meningkat, motivasi siswa untuk belajar menjadi lebih besar, siswa lebih menyenangi sekolah, tingkat absensi siswa lebih rendah, kemampuan sosial siswa menjadi lebih baik, masalah kenakalan siswa jauh berkurang, dan siswa mempunyai sikap yang lebih terbuka. Hal ini dapat terwujud apabila seluruh masyarakat sekolah menumbuhkan budaya bahasa, dan iklim berkelakuan baik.

Pembiasaan Peserta Didik di Kelas

Kegiatan pembiasaan pada dasarnya merupakan implementasi nyata semua mata pelajaran karena pembiasaan merupakan terapan atas pemahaman, keterampilan, serta sikap dan nilai yang dibangun pada semua mata pelajaran. Menurut Abdullah Nasih Ulwan (dalam Zubaedi, 2017:377), metode pembiasaan adalah cara atau upaya yang praktis dalam pembentukan (pembinaan) dan persiapan anak. Sedangkan menurut Ramayulis, metode pembiasaan adalah cara untuk menciptakan suatu kebiasaan atau tingkah laku tertentu bagi anak didik. Arthur, (2003:38), Pembiasaan adalah pengalaman berulang-ulang dan/atau tindakan dari jenis yang sama yang menimbulkan kebiasaan pada setiap orang.

Hasil penelitian Supiana dan Rahmat Sugiharto (2017), menunjukkan bahwa metode pembiasaan sangat efektif untuk menguatkan hafalan-hafalan pada anak didik, dan untuk penanaman sikap beragama dengan cara menghapal doa-doa. Menanamkan kebiasaan yang baik memang tidak mudah, dan kadang-kadang memakan waktu yang lama. Tetapi sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sukar pula untuk mengubahnya. Maka kebiasaan mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Selain itu pembiasaan hendaknya disertai dengan usaha membangkitkan kesadaran atau pengertian secara terus-menerus, sebab pembiasaan digunakan bukan untuk memaksa peserta didik agar melakukan sesuatu secara otomatis, melainkan agar anak dapat melaksanakan segala kebaikan dengan mudah tanpa merasa berat atau susah hati.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Supraptiningrum dan Agustini (2015) menjelaskan bahwa, untuk menanamkan karakter pada siswa dilakukan dengan pembiasaan melalui berbagai kegiatan, yaitu: (1) kegiatan rutin yang dilakukan siswa secara terus-menerus dan konsisten setiap saat; (2) kegiatan spontan yang dilakukan siswa secara spontan pada saat itu juga; (3) keteladanan merupakan perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan dan siswa dalam memberikan contoh melalui tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi siswa lain; (4) pengondisian dengan cara penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nur Hidayat (2016), inti dari pembiasaan dalam pendidikan adalah pengulangan. Misalnya, pendidik senantiasa mengingatkan peserta didik dalam hal berpakaian. Penyampaian seperti ini apabila didengar dan dipahami, maka dengan sendirinya peserta didik dapat membiasakan diri berpakaian sesuai tuntutan agama. Penerapan pembiasaan pendidikan karakter di kelas di mulai dari hal-hal yang sederhana namun secara kontinyu dan berarti. 

Kemendiknas (dalam Ernawati, 2017), berpendapat bahwa pengembangan nilai-nilai karakter didefinisikan dari beberapa sumber, yaitu agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional yang menghasilkan nilai-nilai karakter. Penerapan pembiasaan dan penciptaan komunitas moral pendidikan karakter di kelas di mulai dari hal-hal yang sederhana namun secara kontinyu dan berarti, seperti; (1) Memiliki sifat religius dan jujur, misalnya berdoa sebelum dan sesudah pelajaran, menyediakan fasilitas tempat temuan dan barang hilang, larangan menyontek; (2) Sikap toleran, misalnya memberikan pelayanan yang sama terhadap seluh warga kelas tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, status sosial, dan status ekonomi, serta bekerja dalam kelompok yang berbeda; (3) Disiplin dan kerja keras, misalnya membiasakan hadir tepat waktu, membiasakan mematuhi aturan, menciptakan suasana kompetensi yang sehat, menciptakan etos kerja, pantang menyerah, dan daya tahan belajar, serta memiliki pajangan slogan atau motto tentang giat belajar dan berkerja; (4) Kreatif dan mandiri, misalnya menciptakan suasana belajar yang bisa menumbuhkan daya pikir dan bertindak kreatif, memberikan tugas yang menantang, munculnya karya-karya baru; (5) Mandiri, misalnya menciptakan suasana kelas yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja mandiri; (6) Demokratis, misalnya mengambil keputusan kelas secara bersama melalui musyawarah dan musfakat, pemilihan kepengurusan kelas secara terbuka; (7) Rasa ingin tahu, misalnya menciptakan suasana kelas yang mengundang rasa ingin tahu, eksplorasi lingkungan secara terprogram, tersedia media komunikasi atau informasi (media cetak dan media elektronik); (8) Semangat kebangsaan dan cinta tanah air, misalnya bekerja sama dengan teman kelas yang berbeda suku, status sosial-ekonomi, mendiskusikan hari-hari besar nasional, memajang foto presiden dan wakil presiden, bendera, lambang Negara, peta Indonesia, gambar kehidupan masyarakat Indonesia; (9) Menghargai prestasi, misalnya memberikan penghargaan atas hasil karya peserta didik, memajang tanda-tanda penghargaan prestasi; (10) Bersahabat atau komunikatif, misalnya pengaturan kelas yang memudahkan terjadinya interaksi peserta didik, pembelajaran yang dialogis, mendengarkan keluhan-keluhan peserta didik; (11) Gemar membaca, misalnya daftarkan buku atau tulisan yang dibaca peserta didik, frekuensi kunjungan perpustakaan, saling tukar bacaan, pembelajaran yang memotivasi anak menggunakan referensi; (12) Peduli lingkungan, misalnya memelihari lingkungan kelas, tersedia tempat pembuangan sampah didalam kelas, pembiasaan menghemat energi, memasang stiker perintah, mematikan lampu dan menutup keran air pada setiap lingkungan kelas maupun sekolah; (13) Peduli sosial, misalnya berempati kepada sesama teman kelas, melakukan aksi sosial, membangun kerukunan warga kelas; (14) Tanggung jawab, misalnya pelaksanaan tugas piket secara teratur, peran serta aktif dalam kegiatan sekolah, dan mengajukan usul pemecahan masalah.

Gerakan penumbuhan budi pekerti di sekolah dirasakan akan lebih mengena jika dilakukan dengan serangkaian kegiatan pembiasaan. Pertama, menumbuhkembangkan nilai-nilai moral dan spiritual lewat pengamalan nilai-nilai moral dalam perilaku nyata sehari-hari. Nilai moral diajarkan kepada siswa, lalu guru dan siswa mempraktikkan secara rutin menjadi kebiasaan dan akhirnya bisa membudaya. Kedua, menumbuhkembangkan nilai-nilai kebangsaan dan kebhinekaan. Ketiga, mengembangkan interaksi positif antara peserta didik, guru, dan orangtua. Keempat, mengembangkan interaksi positif antarpeserta didik. Kelima, merawat diri dan lingkungan sekolah. Keenam, mengembangkan potensi diri peserta didik secara utuh. Ketujuh, pelibatan orang tua dan masyarkat sekolah.

Menciptakan Komunitas Moral di Kelas

Menurut Haricahyono, (1988:9), Pendidikan moral adalah suatu kegiatan membantu anak untuk menuju kearah yang sesuai dengan kesiapan mereka, dan tidak sekedar memaksakan pola-pola eksternal terhadapnya. Sehingga dibutuhkan suatu pembiasaan kepada anak untuk mengenali nilai-nilai moral yang harus dipatuhi untuk menjadi bagian dari masyarakat dan diterima oleh masyarakat itu juga. Silanoi (2012), mengatakan bahwa berbicara, percakapan, dan perdebatan yang digunakan dalam segala bentuk pendidikan moral, tetapi sering fokus adalah membenarkan keputusan moral. Mengetahui moral, yang mencakup kesadaran moral, pengetahuan tentang nilai-nilai moral, tinjauan masa yang akan datang, penalaran moral, pengambilan keputusan, dan kesadaran diri, adalah hal penting yang siswa butuhkan. Menurut Aristoteles lama (dalam Noddings, 2002:40) berpendapat bahwa hanya siswa yang bisa mengambil keuntungan dari pengajaran-Nya, penalaran moral dan teori orang-orang yang sudah memiliki suara karakter dan penghargaan untuk kehidupan moral.

Menurut Cronbach (dalam Rokhman, Hum, Syaifudin, & Yuliati, 2014), Karakter adalah bukanlah sebuah entitas yang terpisah antara kebiasaan dan ide-ide. Karakter aspek perilaku, kepercayaan, perasaan, dan tindakan yang saling terkait satu sama lain sehingga jika seseorang ingin mengubah karakter tertentu, mereka perlu untuk mengatur unsur-unsur dasar karakter mereka.

Berbeda dari Cronbach, Lickona (dalam Rokhman et al., 2014) melihat karakter dalam tiga elemen yang terkait; pengetahuan moral, perasaan moral, dan tindakan moral. Berdasarkan ketiga unsur tersebut seseorang dianggap memiliki karakter yang baik jika mereka tahu tentang hal-hal yang baik (pengetahuan moral), memiliki minat terhadap hal-hal baik (perasaan moral) dan melakukan tindakan yang baik (tindakan moral).

Althof & Berkowitz (dalam MeiJu, Chen-Hsin, & Pin-Chen, 2014) mengusulkan bahwa pendekatan baru bermaksud untuk memasukkan pikiran dan perasaan anak-anak seperti yang disarankan dalam tindakan mereka mengungkapkan, belajar, dan menghargai.

Mencius (dalam Nucci et al., 2014, hal. 34) menganggap bahwa, moralitas sebagai yang menentukan karakteristik manusia. Menurut Mencius, satu tidak bisa dianggap manusia tanpa empat kecenderungan. Pertama, adalah welas asih, yang merupakan asal-usul ren (mencintai orang lain). Kedua, adalah rasa malu terhadap diri Anda dan menyukai kesalahan orang lain, yang merupakan asal-usul yi (kebenaran). Ketiga, adalah untuk memberikan orang lain didahulukan sopan santun dan hormat, yang merupakan asalusul li (kesopanan). Keempat, adalah rasa benar dan salah, yang merupakan asal-usul zhi (kebijaksanaan).

Mencius menganjurkan menjadi bertekad untuk tidak mengubah pikiran karena kepentingan pribadi melainkan untuk menunjukkan tekad dan keberanian dalam hidup. Akhirnya, orang dapat menjadi orang terhormat yang tanpa mengorbankan adat-istiadat sendiri untuk janji-janji kekayaan dan ketenaran, atau diredakan oleh kekuatan dalam situasi di mana orang diminta untuk melakukan sesuatu tidak bermoral. Singkatnya, jantung Konfusianisme adalah gagasan ren, atau mencintai orang lain. Konfusianisme terutama prihatin dengan moralitas dalam hubungan interpersonal dan perilaku, dan mengidentifikasi nilai-nilai yang mencakup berbagai macam hubungan dan perilaku — ren (mencintai orang lain), li (kesopanan), xiao (kesetiaan), ti (cinta dan hormat antara saudara), zhong (kesetiaan), shu (toleransi), yi (kebenaran), zhi (kebijaksanaan), dan xin (integritas). Tujuan dari pendidikan moral dalam Konfusianisme adalah mengolah diri ke seseorang yang ren-sopan, berani, tanpa pamrih, dan penuh kasih terhadap orang lain.

Goleman (dalam Pane & Patriana, 2016) menyatakan bahwa pendidikan karakter dapat dilakukan dengan langkah penciptaan komunitas moral di kelas, dimana pendidikan karakter adalah nilainilai pendidikan yang mencakup aspek pengetahuan (kognitif), perasaan, dan tindakan. Lickona (dalam Pane & Patriana, 2016) menyatakan bahwa dalam setiap karakter menghasilkan nilai pendidikan, dimana terdiri dari tiga komponen dari karakter yang baik,: pengetahuan moral, perasaan moral dan tindakan moral.

Menurut Jhon Dewey (dalam Zubaedi, 2017:395) pelatihan moral yang paling baik dan mendalam dapat dilakukan dengan membiasakan anak saling menjalin hubungan dengan sesama kawannya. Untuk bisa berhasil dalam mengajarkan sikap hormat dan bertanggung jawab, guru harus menjadikan upaya pembentukan komunitas moral di kelas sebagai tujuan pendidikan utama. Anak-anak belajar tentang moralitas dengan cara mempraktikkannya. Mereka harus berada di dalam sebuah komunitasberinteraksi, menjalin hubungan, menyelesaikan masalah, berkembang sebagai sebuah kelompok, dan belajar lansung dari pengalaman sosial yang mereka rasakan sendiri tentang pelajaran, tentang bermain secara adil, kerja sama, memaafkan, dan menghormati harkat dan martabat setiap individual. Ada tiga kondisi dasar yang dapat membentuk komunitas moral di kelas, yakni; Pertama, siswa saling mengenal satu sama lain. Melalui cara ini akan lebih membiasakan siswa untuk mau menghargai oranglain dan merasakan kedekatan. Kedua, siswa saling menghormati, mendukung, dan peduli terhadap satu sama lain. Ketiga, mereka diterima sebagai anggota, dan bertanggung jawab terhadap kelompok.

Menurut Lickona (dalam Zubaedi, 2017:394), langkah penciptaan komunitas moral di kelas terdiri dari tiga kegiatan. Pertama. Membantu para siswa untuk saling mengenal satu sama lain dengan aktivitas; Berpasangan; Direktori kelas; Kantung harta karun; Sahabat pena dengan kelas lain; Undian tempat duduk; Perasaan nyaman atau tak nyaman; Jaket pelindung (untuk saling berbagi aspirasi, pencapaian, dan lain-lain). Kedua, mengajari siswa untuk bersikap saling menghormati, mendukung, dan peduli dengan sesama melalui kegiatan; Membangun empati; Menghentikan kekejaman terhadap anak yang berbeda; Menyelenggarakan kegiatan yang bertajuk apresiasi; Pohon perbuatan baik; Kekuatan kata-kata positif, dan Pelukan menentramkan. Ketiga, membantu siswa membangun perasaan korp sebagai anggota dan rasa tanggung jawab kepada kelompok melalui kegiatan; Membangun kohesi dan identitas kelas melalui macam tradisi dan simbolis; Menumbukan perasaan sebagai sosok yang unik, anggota yang berharga dari sebuah komunitas kelas, melakukan upaya intervensi dalam membantu anak yang dikucilkan agar dapat diterima oleh teman-temannya; Menanamkan rasa tanggung jawab dalam menjunjung tinggi aturan kelompok; Mendorong tumbuhnya etika saling ketergantungan, dengan semangat “siapa yang punya masalah yang bisa dibantu penyelesaiannya oleh kita semua”.

KESIMPULAN

Karakter adalah gabungan dari kebiasaan-kebiasaan yang terus menerus dilakukan dan mengakar kuat dalam kepribadian seseorang. Menanamkan nilainilai karakter pada peserta didik dilakukan dengan pembiasaan-pembiasaan melalui berbagai kegiatan di kelas yang dilakukan secara terus-menerus dan konsisten setiap saat, sehingga peserta didik akan terbiasa melakukan hal-hal yang baik dan benar yang tertanam dalam diri masing-masing peserta didik, tanpa ada reward ataupun hadiah untuk melakukan hal tersebut. Bentuk pembiasaan yang dilakukan seperti inilah dapat menumbuhkan nilai-nilai moral pada setiap peserta didik. Hal ini tentu berawal dari kegiatan-kegiatan yang sederhana yang melibatkan aktivitas keseharian peserta didik yang dimulai dari lingkungan kelas.

DAFTAR PUSTAKA

Ernawati. 2017. Menumbuhkan Nilai Pendidikan Karakter Anak SD melalui Dongeng (Fabel) dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Dasar. Vol.4, No. 1

Hidayat Nur. 2016. Implementasi Pendidikan Karakter Melalui Pembiasaan di Pondok Pesantren Pabelan. Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar, Vol. 2. No. 1

Mei-Ju, C., Chen-Hsin, Y., & Pin-Chen, H. (2014). The Beauty of Character Education on Preschool Children’s Parent-child Relationship. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 143, 527–533.

Milanovira, “Tujuh Kebiasaan yang Baik Menurut Stephen R. Covey”, artikel dalam Milamashuri.wrodpress.com Dipublikasikan 20/08/2010, http://milamashuri.wordpress.com/ 2010/08/20tujuh kebiasaan- yangbaik-menurut-stepehen-r-covey/

Nucci, L., Narvaez, D., & Krettenauer, T. (2014). Handbook of Moral and Character Education. Handbook of Moral and Character Education Second (2nd ed., Vol. 2). New York: Routledge.

Pane, M. M., & Patriana, R. (2016). The Significance of Environmental Contents in Character Education for Quality of Life. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 222, 244– 252.

Rokhman, F., Hum, M., Syaifudin, A., & Yuliati. (2014). Character Education for Golden Generation 2045 (National Character Building for Indonesian Golden Years). Procedia - Social and Behavioral Sciences, 141, 1161–1165.

Saptono .2011. Dimensi-dimensi Pendidikan Karkter (wawasan, strategis, dan langkah praktis). Erlangga.

Silanoi, L. (2012). The Development of Teaching Pattern for Promoting the Building up of Character Education Based on Sufficiency Economy Philosophy in Thailand. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 69 (Iceepsy), 1812–1816.

Supiana, Sugiharto Rahmat. 2017. Pembentukan Nilai-nilai Karakter Islami Siswa Melalui Metode Pembiasaan. Jurnal Education Vol.01, No.01

Noddings, N. (2002). Educating Moral People; A Caring Alternative to Character Education. New York: Teachers College Press.

Supraptiningrat, Agustini. Membangun Karakter Siswa Melalui Budaya Sekolah di Sekolah Dasar. 2015. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun V, No. 2

Zubaedi. 2017. Strategi Taktis Pendidikan Karakter (untuk PAUD dan Sekolah). Depok: PT Raja Grafindo Persada

Ditulis ulang oleh Adi Kuswanto, S.Pd
DIambil dari Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar